Jumat, 05 September 2008

tugas SIM Rokhman_komentari

PENYAJIAN ADMINISTRASI UMUM DI WEB :
SEBUAH PENJELASAN BUDAYA

RINGKASAN : laporan UN (PBB)(2002-2005) mengungkapkan beberapa perbedaan didalam adopsi / pemakaian secara luas di dunia dari e-pemerintah dan (PA) Administrasi Umum /publik. Riset ini melakukan satu analisa dari dampak budaya nasional pada adopsi(pemakaian) e-pemerintah dengan (PA) untuk mencoba menjelaskan perbedaan-perbedaan ini. Dampak dari Budaya,seperti definisikan oleh Hofstede,di teks pada tingkat indeks/penunjuk ukuran WEB dan tingkatan evolusi e-pemerintah yang berbeda-beda.Analisa regresi(mundur) dan koefisien dari Pearson menunjukkan pentingnya paham individual dan penolakan ketidakpastian. Power distance (daya kekuatan) memiliki dampak lebih rendah pada pemakaian e-pemerintah.
Tingkat pencapaian pendidikan mencakup hubungan-hubungan ini.

Kata kunci : E-pemerintah, tingkat evolusi e-pemerintah, indeks ukuran WEB, Budaya Nasional.

I. Kata Pengantar
Program-program e-pemerintah tetap ada di puncak dari agenda kebijaksanaan dari sebagian besar negara (PBB, 2002). Penekanan dari E-pemerintah ini dihubungkan pada potensi dari tekhnologi, informasi, dan komunikasi untuk mentransformasi Administrasi Publik/umum ke satu sistem yang efisien, meningkatkan kualitas jasa/pelayanan publik, membangun kepercayaan diantara PA dan Warga Negara, dan mencapai sasaran ekonomi (OECD, 2003; PBB, 2004). Kenyataannya, tujuan-tujuan e-pemerintah pada penyediaan satu menejemen pemerintah yang eisien, penyebaran jasa yang lebih baik, dan kemajuan warga negara melalui : mengakses informasi dan partisipasi dalam pembuatan keputusan kebijaksanaan publik (PBB, 2005). Untuk manfaat/kebaikan-kebaikan ini, PA di dalam sebagian besar negara mengembangkan website, dan pemberian jasa pelayanan elektronik dan dari pintu ke pintu (PBB, 2002, 2003, 2004, 2005). Bagaimanapun juga, perbedaan-perbedaan dalam pemakaran e-pemerintah keseluruh dunia adalah banyak sekali. Indeks kesiapan dan e-pemerintah diperkirakan untuk masing-masing negara PBB, bervariasi diantara 0,9062 di negara-negara Amerika Serikat dan 0,0011 di Liberia (PBB, 2005). Indeks pengukuran web bervariasi antara 0 (tidak ada penyajian di negara-negara Haiti, Zambia, Liberia, dll) dan 1, di negara-negara Amerika Serikat.
Tentu diffusi/penyebaran dari Web dalam penempatan (PA) dalam sebuah politik akan memobilisasi manusia bila perlu,material,dan sumber-sumber keuangan. Tapi, difusi ini tergantung pada variabel sosial dan ekonomi juga (PBB 2002),PBB (2005) menegaskan bahwa kesiapsiagaan e-pemerintah adalah satu fungsi dari satu situasi negara terhadap infrastruktur tehnologi dan telekomunikasi dan tingkat dari perkembangan sumber daya manusia. Meskipun demikian,jumlah variabel-variabel,sosial,legal,dan institusional sekaligus ekonomi dan tehnologi yang mungkin memperlambat proses difusi adalah sebenarnya tak terbatas (Rosenberg,1972, di kutip/dinyatakan oleh Erumban dan de Jong,2006,p.303). Baru-baru ini, beberapa peneliti menunjukkan pentingnya budaya dalam pemakaian IT dan membenarkan perbedaan diantaran negara-negara dalam pemakaian ICT (Informasi Komunikasi dan Tehnologi),secara umum (Erumban dan de Jong,2006) dan dari tehnologi-tehnologi secara spesifik seperti : internet, PC, mesin fax, telpon celuler, telepon dan pejer (Bagchi dan kawan-kawan, 2004, Gong dan lainnya, 2007) dengan dasar variabel-variabel budaya. Menurut Zghal (2001), budaya-budaya mencakup kedua faktor yang menguntungkan untuk eksploitasi ICT dan faktor-faktor yang tak menguntungkan yang mungkin mengganggu /merintangi satu implementasi yang efisien dari tehnologi-tehnologi ini. Sehingga riset ini mencoba menjawab pertanyaan : Apa dampak dari budaya nasional pada pemakaian dari e-pemerintah dengan PA ? Analisa mulai dengan definisi dari e-pemerintah dan penyajian dari tingkat-tingkat evolusinya. Lalu, suatu penjelasan dari perbedaan-perbedaan antara negara-negara yang menggunakan e-pemerintah adalah maju berdasarkan satu perspektif/budaya dan hipotesa-hipotesa yang dirumuskan. Sesudah ketepatan dari metodologinya,hasil-hasil dan interpretasi mereka di gambarkan / disajikan. Kita akhiri dengan satu kesimpulan, dimana kontribusi-kontribusi dan batas-batas dari Studi ini didiskusikan.

2. E-Pemerintah ; Defini, Dimensi/ Ukuran dan Tingkat-tingkat dari Evolusi
2.1. Definisi dan Dimensi/Ukuran dari E-pemerintah :
PBB (2005, p-14) mendefinisi e-pemerintah sebagai penggunaan dari ICT dari aplikasinya oleh pemerintah untuk pemberian informasi dan pelayanan publik pada rakyat/orang-orang. Secara luas didefinisi, e-pemerintah mencakup semua bidang/sarana ICT dan aplikasinya digunakan oleh sektor publik. Sasaran-sasarannya adalah optimisasi pemberian pelayanan publik secara terus menerus dan penyebaran informasi ; partisipasi dari warga negara dalam proses polotik, sementara itu mentransformasi hubungan dan proses internal dan eksternal dengan tekhnologi, internet dan media-media baru (moon, 2002 ; PBB, 2002); secara sempit didefinisikan, e-pemerintah merupakan penggunaan dari ITC diantara badan-badan PA, perusahaan-perusahaan dan warga negara untuk mempermudah dan memperbaiki difusi/penyebaran informasi, komunikasi, dan pemberian pelayanan publik (moon, 2002, PBB (UN) 2002).
Menurut El-Jamali dan lainnya (2004) satu definisi lengkap tentang e-pemerintah harus mempertimbangkan semua partner/pasangan dari PA pada e-pemerintah yang mencakup interaksi di antara administrasi dan warga negara, pemerintah pada warga negara (G2C), administrasi dan bisnis ”Pemerintah Kepada Bisnis” (G2B) dan badan-badan PA dan atau realisasi dari transaksi online (langsung). G2C/C2G memungkinkan warganegara untuk mengkonsultasikan informasi, untuk berkomunikasi dan untuk membuat transaksi secara cepat dan mudah. Beberapa interaksi seperti pemberian pelayanan, bantuan sosial, otorisasi legal, dll, dapat dikembangkan G2B/B2G mengacu pada penggunaan komunikasi dan realisasi dari formalitas-formalitas administrasi. Akhirnya, G2G mengacu pada penggunaan ICT diantara badan-badan PA pada tingkat nasional, regional dan lokal. PA di komposisi dari beberapa badan yang dapat mengintervensi, masing-masing menurut dominasi keahliannya, dalam realisasi dan transaksi yang sama. ICT (internet, intranet, pemberi jasa web, dll) memungkinkan mereka untuk berbagi data mereka dan untuk meletakkan pengetahuan dan sumber-sumber mereka secara umum. Juga, mereka memperbolehkan pengembangan dari sarana-sarana tekhnologi dan organisasi yang mengintegrasikan proses-proses operasionl, keputusan dan menejemen (El Jamali, dkk, 2004).
2.2. Tingkat-tingkat Evolusi/Perkembangan E-pemerintah
Menurut Layne dan Lee (2001), implementasi e-pemerintah mengikuti satu proses evolusi/perkembangan yang dimulai dengan fase informasi, lalu fase-fase interaksi, transaksi, dan itegrasi secara horizontal dan vertikal (moon, 2002 ; El Jamali, dkk, 2004). Bagaimanapun juga, itu bukan kewajiban/keharusan untuk sebuah PA mengkuti satu progresi/kemajuan secara garis linear dalam implementasi dari e-pemerintah. Kemungkinannya untuk memperkembangkan tingkat-tingkat integrasi sebelum mengeksploitasi potensi secara penuh pada informasi atau fase-fase interaksi yang tidak dimasukkan/ditiadakan. PBB (2005) menyajikan satu contoh dari evolusi dari e-pemerintah yang di susun atas lima tingkat. Lima tingkat ini akan digunakan dalam analisa statistiknya. Untuk alasan in, model /contoh dari e-pemerintah dan definisi komponen-komponennya adalah dipakai/diadopsi (PBB, 2005).

Tabel I : Tingkatan-tingkatan dari evolusi e-pemerintah (PBB, 2005, p-10)

Penyajian yang muncul : adalah tingkatan I yang menyajikan informasi, yang terbatas dan dasar penyajian online e-pemerintah mencakup satu halaman web dan atau satu website yang resmi, berhubungan dengan kementrian-kementrian/departemen-departemen dari pendidikan, kesehatan, keseahteraan sosial, buruh/pekerja, dan keuangan barang kali tidak ada : berkaitan dengan pemerintah regional/lokal barang kali tidak eksis/ada ; sejumlah informasi yang disimpan/diarsip seperti kepala/kop dari pesan kenegaraan, atau satu dokumen seperti konstitusi mungkin tersedia online, sebagian besar informasi tetap statis dengan opsi-opsi paling sedikit bagi warganegara.
Penyajian yang meningkat /ditingkatkan : merupakan tingkatan-tingkatan yangmana pemerintah yang memberikan kebijakan publik yang lebih besar, dan sumber-sumber informasi pemerintahan yang sedang berlaku atau diarsipkan, seperti : beberapa kebijakan, undang-undang, pengaturan-pengaturan, laporan-laporan, surat-surat/laporan berkala, data pokok yang dapat diisi lagi. Pemakai dapat mencari sebuah dokumaen dan ada satu keterangan pembantu dari peta situs/tempat yang disediakan satu seleksi lebih luas daru kebijakan publik pada dokumen-dokumen tersebut seperti sebuah strategi e-pemerintah, ringkasan kebijakan pada pendidikan spesifik atau isu-isu kesehatan. Walaupun lebih canggih/modern, interaksi tersebut masih secara pokok tidak secara langsung terkait dengan informasi yang sedang mengalir secara penting dari pemerintah kepada wargnegara.
Penyajian Interaktif : merupakan tingkatan 3 yang mana pelayanan pemerintah online masuk ke mode interaktif dengan pelayanan-pelayanan untuk meningkatkan kepuasan konsumen seperti : formulir-formulir yang bisa diisi lagi untuk pembayaran pajak, permintaan untuk pembaharuan surat ijin. Kemampuan audio dan video disediakan untuk informasi publik yang relevan. Para pejabat pemerintah dapat dikontak lewat email, fax, telepon dan post. Tempat yang di update/perbaharui dengan pengaturan yang lebih besar untuk menyimpan informasi yang masih berlaku dan yang terbaru untuk publik.
Penyajian Transaksi : adalah tingkatan 4 yang memungkinkan interaksi dua arah di antara warganegara dan pemerintahnya. Itu mencakup opsi-opsi untuk membayar pajak; meminta kartu ID (identitas), akte kelahiran/pasport; pembaharuan surat ijin dan interaksi-interaksi C2G lainnya yang serupa dengan mengijinkannya untuk menyampaikan ini secara online 24/7. Warganegara dapat membayar untuk pelayan-pelayan publik yang relevan, seperti : pelanggaran kendaraan bermotor, pajak-pajak, upah/biaya-biaya jasa pos melalui kredit, bank dan kartu debet. Penyedia barang dan jasa dapat meminta secara online untuk kontak-kontak publik lewat hubungan matarantai/jaringan yang terjamin (aman).
Penyajian Jaringan (network) merupakan tingkat 5 yang menggambarkan tingkat yang paling canggih dalam inisiatf dari e-pemerintah yang online. Itu dapat dikarakterkan dengan satu integrasi dari interaksi-interaksi G2G, G2C, dan C2G (dan sebaliknya). Pemerintah mendorong pembuatan keputusan yang dipertimbangkan dan mau dan dapat melibatkan masyarakat dalam satu dialog terbuka dua arah. Melalui gambaran dua interaktif seperti : blangko-blangko komentar web, dan mekanisme konsultasi inovatif yang online, pemerintah secara aktif mengumpilkan pandangan-pandangan dari warganegara pada kebijakan publik, pembuatan undang-undang, dan pembuatan keputusan dengan keikutsertaan secara demokrasi. Secara lengkap dalam tingkat dari mode ini adalah integrasi dari badan-badan sektor publik dengan kerja sama dan pengertian yang penuh atas konsep-konsep dari pembuatan keputusan secara kolektif, partisipasi demokrasi dan pemberian wewenang pada warganegara sebagai satu hak demokrasi.
3. Adopsi/Pemakaian e-pemerintah dengan PA : Satu Penjelasan Budaya
Indeks Pengukuran WEB (WMI) (PBB, 2002-2005) menilai website dari pemerintah untuk menentukan apakah mereka sedang menggunakan e-pemerintah untuk yang paling penuh/lengkap. Indeks tersebut memberikan satu evaluasi dari internet dan penggunaan w.w.w oleh PA untuk difusi informasi dan Pemberian Pelayanan Publik.
Hasil-hasil PBB (2005, p-57) mengungkapkan bahwa : PA di dalam 179 negara bersifat online pada tahun 2005. Bagaimanapun juga, perbedaan-perbedaan diantara negara-negara adalah banyak sekali, WMI bervariasi antara 0 (tidak ada penyajian untuk negara-negara seperti Haiti, Zambia, Liberia, dll) dan 1 di negara Amerika Serikat. Perbedaan-perbedaan ini menyangkut negara-negara dengan tingkat-tingkat perkembangan ekonomi, sosial dan tekhnologi yang berbeda, tetapi bahkan untuk negara-negara industri, yang memiliki gambaran yang sama, perbedaan-perbedaan dalam WMI masih ada. Bahkan, 22 negara-negara berkembang adalah di antara 50 negara pertama. Di antara 22 negara ini, 11 adalah di klasifikasi lebih baik daripada beberapa negara-negara berindustridan pendapatan perkapita yang tinggi seperti Perancis, Islandia, dan Swiss (appendiks I).
Beberapa peneliti (Bagchi, dkk, 2004, Erumban dan deJong, 2006, Gong, dkk, 2007) memberikan perbedaan-perbedaan seluruh dunia dalam pemakaian ICT, pada umumnya atau dari tekhnologi-tekhnologi yang spesifik seperti internet, PC, mesin fax, telepon seluler, dan pejer dengan perbedaan-perbedaan budaya diantara negara-negara. Kenyataanya, budaya-budaya yang beda reaksi dengan bervariasi terhadap produk-produk baru dan inovasi-inovasi tekhnologi (Gong, dkk, 2007) dan memutuskan untuk memakai tekhnologi seperti itu mungkin dipengaruhi oleh sifat-sifat budaya dan sosial dan nilai-nilai yang diterima dari individu di dalam satu masyarakat (Erumban dan deJong, 2006). Oleh karena itu, budaya dapat dianggap sebagai satu faktor yang membedakan di antara negara-negara dalam pengadopsian/pemakaian ICT.
Zghal (2001, p-5) mendefinisi budaya sebagai satu logika internal, satu jenis kebiasaan yang mengerti tempat yang mana anggota-anggotanya dalam satu nyesmasyarakat berbagi dan kepadanya saling menyesuaikan perilaku-perilakunya. Jadi, individu-individu berbagi satu karakter nasional yang secara kolektif yang membentuk nilai-nilai mereka, kepercayaan, etika/sikap, dan menentukan perilaku-perilaku mereka dalam satu masyarakat. Itu merupakan satu sistem nilai-nilai yang secara kolektif di bagi (Hofstade) atau budaya yang membedakan diantara negara-negara. Gong, dkk (2007) dan Erumban dan deJong (2006) mengakui dua pendekatan secara teori atas budaya nasional; pendekatan dari Hall (1976)dan pendekatan dari Hofstade. Menurut Gong dkk (2007), di dalam pendekatan Hall, bdaya dilihat sebagai satu gagasan/konsepsi yang satu dimensi yang mana negara-negara di kelompokkan ke dalam salah satunya : kategori konteks tinggi/rendah; atau tinggi/menengah/rendah. Perbedaan ini berdasarkan pada cara dari pesan-pesan tersebut di komunikasikan dalam satu masyarakat. Didalam budaya-budaya dengan konteks yang tinggi (contoh : Jepang, China), pengertian kontekstualnya adalah penting dalam menginterpretasikan satu pesan, sementara itu dalam budaya-budaya dengan konteks yang rendah (contoh : USA, Kanada) kebanyakan informasi secara explisit diungkapkan dalam kata-kata (Gong, dkk, 2007). Gong dkk, (2007) menyoroti bahwa : studi-studi yang menggunakan pendekatan dari Hall untuk menyelidiki pengaruh budaya pada difusi/penyebaran yang telah menunjukkan hasil-hasil yang di campur, karena satu masalah pengukuran secara empiris, ketika menggunakan pendekatan ini. Juga, menurut Erumban dan deJong (2006), pendekatan ini tidak mendeskripsikan perbedaan budaya diantara negara-negara dalam satu cara yang terinci. Maka, ukuran-ukuran yang lebih sensitive dari budaya nasional adalah dibutuhkan.
Berdasarkan pada data dari satu survey secara empiris dilakukan diantara 1967 dan 1973 dengan kira-kira 116.000 buruh/pekerja dari IBM di dalam 50 negara dan 3 daerah, Hofstade meneliti bahwa budaya-budaya nasional dapat dibedakan dalam empat dimensi budaya : daya kekuatan, menghindari ketidak pastian, individualisme/ kolektivisme, kemaskulinan/ kefemininan. Dimensi yang kelima ditambahkan kemudian (orientasi jangka panjang). Pendekatan Hofstede dari budaya dan secara khusus, dimesi-dimensi ini adalah paling banyak dipelajari ketika mempertimbangkan pemakaian ICT pada sebuah tingkat nasional (bagchi dkk, 2004, Kovacic, 2005, Erumban dan de Jong, 2006, Gond dkk, 2007). Walaupun kritikan dan metodologinya dan konteksnya yang terbatas (Basker ville, 2003, 2005) pendekatan ini menawarkan ukuran yang paling kuat dari budaya- budaya nasional dan 5 dimensinya dianggap sebagai faktor-faktor yang paling mendiskriminasi diantara negara-negara (Gong dkk, 2007). Bagchi dkk ( 2004) menekankan relevansinya untuk mencari pengaruh budaya pada pemakaian ICT. Disamping, semua penulis-penulis ini menyimpulkan bahwa perbedaan-perbedaan dalam pemakaiaan ICT diantara negara yang dapat dilengkapkan pada budaya nasional disaat itu dideskripsikan dalam pendekatan Hofstede. Maka, dimensi-dimensi ini memberikan kritreria yang lebih baik untuk memperkirakan pengaruh budaya pada pemakaian ICT, dan akan digunakan untuk menganalisa perbedaan-perbedaan yang diteliti dalam perihal E-pemerintah. Meskipun budaya-budaya mencakup baik faktor-faktor yang membantu dan tidak dapat membantu untuk mengeksploitasi ICT yang mana mengganggu satu implementasi yang efisien dari tehnologi-tehnologi ini (Zghal, 2001). Jadi bila budaya memiliki satu dualitas tertentu pada perilaku-perilaku, pertanyaannya adalah : apa yang ada diantara-diantara dimensi ini, yang barangkali mempunyai satu dampak pada pemakaian e-pemerintah dengan PA? Tiap-tiap dimensi budaya dan hubungannya yang diharapkan dengan pemakaian ICT, didiskusikan dibawah ini (ke hal.14)
4. Dimensi-dimensi Budaya dan pemakaian E-pemerintah dengan PA : satu kerangka (kerja) analisa :
4.1. Power Distance (PD/ daya kekuatan)
PD adalah tingkatan pada satu masyarakat yang menerima perbedaan-perbedaan dan ketidak samaan dalam distribusi kekuatan / wewenang diantara individu, organisasi dan institusi-institusi. Di Negara-negara yang PDnya luas ( dengan angka tinggi), individu-individunya lebih siap menerima perbedaan wewenang / kekuatan dan satu aturan hierarki yang luas dari pada individu-individu di negara-negara yang PDnya kecil. Negara-negara terakhir ini dikarakterkan dengan struktur pembuatan keputusan yang bersifat disentralis dan partisipasif ( Bagchi dkk, 2004)
Karena ICT dapat menyumbang / mendukung pada disentralisasi daari pembuatan keputusan dengan memberikan lebih banyak informasi yang cocok dan sharing (berbagi).mereka akan lebih diterima didalam negara-negara dengan PD yang kecil. Di negara-negara ini, kavocic (2005) menandakan bahwa : Keterlibatan warga negara dalam proses keputusan politik diharapkan dan menuntut implementasi ICT. Dengan begitu penulis ini menegaskan bahwa negara-negara dengan PD yang luas mungkin memiliki sikap-sikap negatif terhadap pemakaian ICT .
Tapi juga ICT adalah satu simbol kekuatan dan otoritas, ini dapat mendorong pemakaiannya didalam negara-negara yang PDnya luas (Bagchi dkk, 2004). Pemakaian ini beresiko untuk adanya satu tanda status sosial dan terbatas untuk yang elit dari masyarakat tersebut (Gong dkk, 2007). Di dalam negara-negara dengan PDnya yang besar, organisai-organisai dikarakterkan dengan struktur sentralisasi, otoritas dan penerapan aturan-aturan formal (Erumban & De Joung, 2006).maka para individu terpanggil untuk menghormati otoritas dan perbedaan-perbedaan dan untuk mengikuti instruksi-instruksi yang barangkali kurang siap untuk menentang status-quo dan tidak/kurang termotivasi untuk mengadopsi / memakai ICT (Gong, 2007).
Hasil-hasil dari studi-studi lebih awal, menunjukkan bahwa ketika PDnya rendah, pemakaian PC dan telepon selluler meningkat (bagchi dkk,2004). Itu juga merupakan permasalahan dalam penggunaan internet dan mengaksesnya (Gong dkk, 2007). Dan dalam pemakaian ICT secara independen dari tipe-tipenya (Erumban & De Jong, 2006). Kovacic (2005) mengkonfirmasi hipotesanya bahwa pemerintahdari satu negara dengan PD yang luas memiliki sikap negatif terhadap peningkatan dan kesiap siagaan dari E-pemerintah. Maka, kita mengharapkan bahwa pemakaian E-pemerintah meningkat di negara-negara yang PDnya kecil (1+1).
4.2. Individualisme / Kolektivisme (ID) :
Individualisme mendeskripsikan hubungan diantara kelompok dan individu dalam sebuah masyarakat. Dalam budaya-budaya individual (kolektivisme yang rendah), individual adalah lebih. Perhatian pada mereka sendiri dan anggota-anggota keluarga mereka secara langsung. Kebebasan perorangan dan pembuat keputusan secara individu adalah dihargai / dinilai (Erumban dan De Jong, 2006, Gong dkk, 2007). Sebaliknya anggota-anggota dari budaya-budaya individual yang rendah (koletivisme tinggi). Menunjukkan lebih kasih sayang pada kelompok yang setia / taat (keluarga secara luas, komunitas asosiasi dll). Mereka disatukan kedalam kelompok yang kuat dan berpadu yang didalamnya para individu mengharapkan kerabat mereka dan yang lainnya didalam kelompok mereka untuk merawat mereka / mempedulikan dalam pergantian untuk kesetiaan yang tak dipertanyakan lagi. Kewajiban-kewajiban dan harmonitas kelompok datang / terjadi sebelum sasaran individu (tujuan).
Para penulis (Bagchi dkk, 2004, kavocic, 2005, Erumban dan de Jong, 2006, gong dkk, 2007). Menyetujui bahwa pemakaian ICT meningkat di dalam budaya-budaya yang individual. Disatu sisi, masing-masing individu dalam budaya yang individualistik memiliki lebih banyak kebebasan untuk mengekspresikan opini mereka, dan mencoba ide-ide baru dari pada individu-individu dalam budaya-budaya yang kolektifistik (Erumban & De Jong, 2006, Gong dkk, 2007). Oleh karna itu mereka lebih inofatif dan lebih terbuka untuk pemakaian ICT. Disisi lain, ICT mengurangi waktu dan ketidak leluasaan ruangya.mereka yakin lebih independen dalam kerja atau kehidupan perorangan dalam arti bahwa mereka memiliki opsi untuk mepertahankan jarak fisik yang lebih besar dan mengijinkan individu-individu untuk menjadwal aktifitas mereka untuk menemukan kebutuhan–kebutuhan dari beberapa kelompok untuk mereka yang termasuk / ikut memiliki (Bagchi dan lainnya, 2004). Karena gambarannya sama, ICT memprimosikan kontak secara terus menerus diantaran anggota-anggota kelompok didalam budaya-budaya yang bersifat kolektif ( Bagchi dkk, 2004). Bagaimanapun, dalam budaya-budaya seperti itu, pentingnya interaksi face to face ( langsung 4 mata ) mengurangi peranan ICT dalam mempertahankan hubungan ( Bagchi dkk, 2004). Bahkan, individu-individu tidak memakai ICT bila mereka terbukti ada kontradiksi dengan norma-norma kelompok mereka ( Erumban dan de Jong, 2006 ). Hubungan yang signifikan diantara individualisme dan pemakaian PC, internet, telpon, pejer ( Bagchi dkk, 2004) dan ICT secara umum ( Erumban dan de Jong, 2006 ) ditunjukkan oleh para penulis ini. Dalam hal e-pemerintah itu, Kavocic ( 2005 ) menemukan bahwa pemerintahan dengan budaya individualistik menunjukkan sikap-sikap positif terhadap perbaikan dari kesiapan e-pemerintah. Sebaliknya Gong dkk (2007) membuat tidak berlaku lagi efek posiif yang dihipotesa dari paham individualis pada pemakaian internet. Tapi, mereka menemukan satu hubungan yang secara marjinal sifnifikan dan di dalam arah yang diharapkan untuk penetrasi tanda yang sempit ( t =1,56 ; p< 0,1 ). Jadi, kita mengharapkan bahwa pemakaian e-pemerintah dengan PA meningkat dalam budaya-budaya yang incividualis ( H2 )
4.3 Maskulinitas / Feminitas ( MA ) = ( ini halaman 15)
Dimensi budaya ini berdasakan pada satu perbedaan diantaran pria dan wanita dalam peranannya dama sebuah masyarakat. Nilai-nilai seperti = Ketegasan, performen, sukses, dan kompetisi memberi karakter budaya-budaya yang maskulin. Sebaliknya, satu budaya yang feminim memfokuskan pada hubungan manusianya, kualitas hidup, solidaritas, persamaan, minat/interes untuk orang-orang lain dan perlindungan dari si lemah. Nilai-nilai-nilai ini lebih jauh lagi dicari ole wanita-wanita yang lebih modis ( rendah hati/sederhana ), lunak dan lebih banyak dipandu oleh perbaikan kualitas hidup daripada para pria.
Menurut Hofstede, organisasi dalam budaya maskulin memacu persaingan dan mengakui performen individu ; ini adalah gambaran tentang organisasi-organisasi yang inovatif ( Erumban dan de Jong, 2006 ). Organisasi-organisasi memakai ICT untuk lebih adanya efisiensi dan persaingan/kompetisi yang dinilai dalam budaya-budaya maskulin (Bagchi dkk, 2004). Dalam budaya ini, pemakaian ICT meningkat karena mereka mengijinkan untuk memperoleh informasi yang berguna untuk kompetisi ( Kovacic, 2005, Erumban dan di Jong, 2006 ),yang mempengaruhi kontribusi dari pelaku-pelakunya untuk hal efisiensi (Bagchi dkk, 2004 ), dan memperbaiki performen dan kesempatan-kesempatan untuk sukses ( Kovacic, 2005 ). Tetapi itu kelihatan bahwa penelitian-penelitian yang terdahulu menemukan hasil-hasil bahwa itu kontradiksi dengan harapan-harapan para penulisnya : Kemaskulinan mempunyai satu efek negatif dalam mengakses internet dan penggunaannya (Gong dkk, 2007 ) dan itu tidak ada hubungan denga pemakaian ICT secara umum ( Erumban dan de Jong, 2006 ) dan dengan indeks kesiapan dari e-pemerintah secara khusus (Kovacic, 2005 )
Dan juga, ICT memungkinkan lebih bekera sama pda pekerjaan dan satu kualitas kehidupan yang lebih baik yang merupakan niai-nilai budaya yang feminin (Bagchi dkk, 2004).Gong dkk (2007) memberitahukan bahwa karakteristik dari ICT, seperti internet , adalah lebih cocok dalam budaya-budaya yang feminin karena mereka mempermudah sharing/berbagi informasi dan komunikasi diantaran orang-orang/rakyat, kelopok, dan organisasi-organisasi. Jika potensi dari komunikasi adalah motif pokok dari pemakauan ICT, llu mereka lebih diterima dalam negara-negara dengan kefemininan tinggi (Erumban dan de Jong,2006) Ide ini didukung oleh Bagchi dkk (2004) yang menemukan satu hubungan yang kuat diantara gambaran budaya feminin dan pemakaian dari telepon dan telepon seluler. Jadi, kia menganggap bahwa pemakaian e-pemerintah meningkat di negara-negara dengan kefemininan inggi ( H3 )

4.4. Penolakan / Penghindaran Ketidak Pastian ( UN )
Penolakan ketidakpastian mengacu pada sikap terhadap resiko, keitdakpastian dan fenomena baru. Situasi-situasi baru ini dapat meliputi ; kejutan-kejutan dan berbeda dari biasanya.Budaya UA yang tinggi mencoba untuk menyusun kehidupan, masyarakat dan meminimalkan kesempatan-kesempatan untuk memiliki situasi seperti itu dengan undang-undang, formalitas dan alat-alat keamanan. Para individu umumnya lebih menentang untuk berubah, menentang resiko dan kurang inovatif (Kovacic, 2005 ,Gong dkk, 2007 ). Tetapi, budaya-budaya yang menerima ketidakpastian (UAnya rendah) adalah lebih toleran terhadap opsi-opsi lain yang berbeda. Dalam budaya-budaya ini, para individu memperlihatkan lebih toleransi terhadap resiko-resiko, seperti yang dihubungkan dengan ICT, dan lebih inovatif ( Bagchi dkk, 2004, Gong dkk, 2007 ). Menurut Bagchi dkk (2004), PC memperutin pekerjaan-pekerjaan,mesin fax dan e-mail meninggalkan catatan-catantan pada kertas, telepon dan telepon seluler memperbaiki komunikasi untuk memecahkan problem-problem dengan lebih cepat, sebagai konsekwensinya, ICT dapat merespon kebutuhan-kebutuhan untuk mengurangi ketidakpastian dalam budaya-budaya yang UAnya tinggi. Pemakaian ICT bagaimanapun juga beresiko. Karena budaya-budaya ini adalah lebih beresiko menentang dan menolak untuk berubah, Pemakaian ICTnya adalah kurang penting daripada di negara-negara denga UA yang rendah ( Bagchi dkk, 2004, Kovacic,2005, Erumban dan di Jong, 2006)
Hasil-hasil campuran diberikan oleh studi-studi terdahulu. Dengan menganggap bahwa UA secara negative dihubungkan dengan penggunaan dan mengakses internet, Gong dkk, (2007) tidak menemukan satu hubungan diantara-antara variabel ini juga, (Bagchi dkk, 2004) menyimpulkan bahwa hubungan diantara pemakai ICT dan UA adalah tidak jelas. Kovacic (2005) menemukan satu dukungan yang lemah pada hipotesa, yang mana pemerintah dari Negara dengan budaya UA yang tinggi, memiliki satu sikap ya g negatif terhadap naiknya tingkat kesiapan e-pemerintah. Kebalikan dari penulis-penulis ini, Erumban dan de Jong ( 2006 ) menegaskan bahwa hopotesa yang budaya UA tinggi memperlihatkan satu angka yang paling rendah pada pemakaian ICT dan pada budaya-budaya dengan sebuah UA yang rendah. Mereka menyatakan bawa dimensi budaya ini adalah paling signifikan terhadap penjelasan dari perbedaan-perbedaan diantara negara-negara dalam pemakaian ICT. Oleh karena itu, kita menegaskan bahwa pemakaian e-pemerintah meningkat di Negara-negara yang UAnya rendah (HU)

4.5. Orientasi Jangka Panjang / Orientasi Jangka Pendek ( LOT )
Dimensi ini mengacu pada tingkatan yang mana satu budaya menilai tradisinya dan berapa banyak individu- individu memfokuskan pada masa lalu dan masa depan mereka (Erumban dan de Jong, 2006, Gong dkk, 2007 ). Menurut Hofstede, budaya-budaya dengan LOT yang di karakterkan dengan nilai-nilai seperti ketepatan, adaptasi, dari tradisi pada lingkungan yang baru, ketekunanan ide,yang merupakan event-event paling penting dalam hidup akan terjadi di masa depan. Sebaliknya, budaya-budaya dengan satu orientasi jangka pendek (LOT rendah) mengharapkan hasil-hasil yang cepat dan memfokus pada merespek untuk masa lalu,tradisi dan stabilitas. (ke hal.16). LOT setidak-tidaknya dimensi yang dites dalam studi-studi lintas budaya (Gong dkk, 2007). Para penulis ini mempertimbangkan bahwa budaya LOT dapat merasa lebih baik entang kebaikan/manfaat jangka panjang dari internet, oleh karena itu, mereka lebih banyak dalam membantu pemakaian dari inovasi ini. Mereka menemukan bahwa dimensi budaya ini mempunyai satu pengaruh positif yang signifikan pada penggunaan dari mengakses internet, dapak ini meningkat ketika menyajikan variabek kontrol ” tingkat dari Pendidikan dalam model regresi yan di tes untuk variabel ”. Penetrasi tanda yang luas ”. Sebaliknya Erumban dan de Jong (2006) menganggap bahwa budaya LOT yang rendah adalah lebih terbuka untuk ide-ide baru daripada budaya-budaya dengan LOT yang tinggi, sehingga dalam budaya-budaya seperti itu, pemakaian dari ICT meningkat. Walaupun para penulis ini tidak menemukan hasil-hasil yang konklusif, karena ukuran dari contoh yang dipelajari,dikurangi. Jadi, kita menegaskan bahwa pemakaian e-pemerintah meningkat di negara-negara yang dikarakterkan dengan budaya-budaya LOT ( H5 ).

4.6. Variabel-variabel Kontrol
Permasalahan pada dimensi-dimensi udaya yang memiliki dampak pada pemakaian PA pada Web tidak mentimplikasikan pandangan tertentu tentang hubungan antara budaya dan pemakaian ICT. Di satu sisi, Bagchi dkk (2004,p.31) berargumen bahwa ”ketika membuat prediksi tentang kemungkinan implikasi –implikasi yang budaya miliki untuk pengunaan teknologi itu penting untuk menghindari satu pandanyan penentu baik teknologi maupun budaya” Kovacic (2005) menganggap bahwa hubungan ini bukan sebab musabab yang sederhana. Itu lebih dinamik karena e-pemerintah dapat memiliki dampak pada budaya nasional. Disisi lain, walaupun PBB (2005, P. GI) menjelaskan perbedaan-perbedaan antar negara-negara dalam pemakaian e-pemerintah dengan perbedaan budaya, organisasi ini menyoroti peranan dari perbedaan-perbedaan dalam sitem politik, ekonomi dan sosial, tingkat pembangunan, persediaan sumber-sumber daya, infrastruktur tehnologi, dan modal manusianya. Kovacic (2006) menyatakan bahwa pemakaian e-pemerintah tergantung pada tingkat demokrasi dalam negara itu, biaya implementasinya, dan manfaat politik yang dirasakan untuk pemerintah dari mengimplementasi satu inisiatif e-pemerintah, dan negara-negara yang demokratis dengan peringkat yang lebih tinggi pada kesiapsiagaan e-pemerintah dari pada negara-negara yang kurang demokratis.
Oleh karena itu, variabel-variabel yang lain mungkin mempengaruhi pemakaian ICT ” ketika budaya-budaya dapat berkembang, merentang, atau membentuk / menentukan penggunaan tehnologi, budaya mereka tidak secara keseluruhan menetukan penggunaan tehnologi ”(Bagchi dkk, 2004, P.31). Hofstede, dia sendiri beragumen bahwa lima dimensi budaya secara statistik berkaitan dengan beberapa data dari negara-negara itu. Sebagai contoh, daya kekuatan terkait pada ketidaksamaan pendapatan (income) dalam satu negara,dan individualisme berkaitan dengan Produk Nasional Bruto (kotor) perkapita. Dia menjelaskan bahwa ketika efek dari variabel yang lain (sebagai contoh : variabel ekonomi) adalah signifikan, walaupun variabel-variabel ekonominya termasuk, kemudian efek budaya pada fenomena yang diteliti dapat dikonfirmasi.
Erumban dan de Jong (2006) dan Gong dkk, (2007), dalam analisa mereka tentang hubungan diantara budaya nasional dan pemakaian ICT, mempelajari dari dampak dari tingkat pencapaian pendidikan. Variabel ini akan dipelajari dalam permasalahan pemakaian e-pemerintah dengan PA. Gong dkk, (2007), menemukan bahwa tingkat pendidikan mendukung untuk menjelaskan pengaksesan dan penggunaan internet. Mereka mengira bahwa penggunaan internet menuntut tingkat pendidikan yang tinggi dan penelitian-penelitian pada difusi inovasi harus terus menerus dilakukan. Dengan begitu kita berharap bahwa pemakaian e-pemerintah meningkat di negara-negara dimana tingkat pendidikan tinggi (H6).

5. METODOLOGI
Qian ( 2007 ) menyatakan bahwa sejak 2000, lebih dari 25 survei e-pemerintah secara global telah dilakukan. Yang paling diketahui adalah survei dari Accenture ( penekanan ), Brown University, Unit Intelegen Ekonomi (EIU), Taylor Nelsin Sofres (TN), PBB, dan Forum Ekonomi Dunia / Havard University ” (Qian, 2007). Dia menambahkan bahwa laporan PBB pada kesiapan e- pemerintah secara global, merupakan salah satu yang paling siap dan digunakan oleh para praktisi dan peneliti untuk ketepatan dari metodologinya dan kekayaan akan data-datanya pada semua negara-negara PBB yang mana itu termasuk untuk alasan ini, informasi yang diberikan pada tahun 2005 laporannya di eksploitasi dalam studi ini. Dengan lebih tepat, itu adalah indeks ukuran Web ( WMI ) yang disajikan sebagai satu ukuran dari pemakaian e-pemerintah dengan PA. Kenyataannya, itu penting untuk memandang lebih dekat pada sektor prblik secara online yang menawarkan hidup dan matinya hal itu sendiri. Indeks ukuran Web menilai website pemerintah untuk ditentukan bila mereka menggunakan e-pemerintah hingga paling maksimal. Rangking / peringkat ukuran web berbeda dengan peringkat kesiapan e-pemerintah, yang berdasarkan pada sau indeks gabungan yang berisi ukuran web, infrastruktrur dan penilaian-penilaian modal manusianya. ”(PBB,2005, p.71)
Skor ini diberikan oleh Hofstede yang disajikan untuk ukuran dimensi budaya. Skor / angka-angka ini tersedia dalam 65 negara dan3 wilayah ( Dunia Arab,Afrika Timur dan Barat ) (www geert – hofstede com/hofstede dimensions,php ). Negara-negara yang termasuk dalam 3 wilayah ini adalah ditiadakan dari studi sekarang ini, karena itu besa jadi tidak dapat digambarkan untuk mempertimbangkan bagwa negara-negara ini memiliki skor yang sama pada dimensi budayanya daripada daerah itu. Untuk Dunia Arab, contohnya, El Lovadi (2004) berargumen bahwa hubungan dari skor-skor regional dan dimensi-dimensi untuk semua negara Arab (mempunyai satu skor yang sama (tinggi) dalam daya kekutan, yang relatif bersifat kolektif,dll) adalah mengkhawatirkan. Menurut penulis yang sama,kekomplekan dari budaya Arab memerlukan studi dari nilai-nilai arab dan pencantumannya dalam kerangka kerja Hofstede. Diantara negara-negara lain yang dipilajari oleh Hofstede, Taiwan dan Hongkong ditiadakan, karena laporan PBB tidak memberikan data pada WMI mereka. Oleh karena itu, sebuah contoh terakhir dari 63 negara, di uji.
Metode-metode dari analisa korelasi dan regresi dipakai untuk data tersebut. Beberapa peneliti (Bagchi dkk 2004; Kovacic,2005, Erumban dan de Jong,2006, Gong dkk,2007) menggunakan analisa regresi untuk menguji hubungan antara budaya nasional dan pemakaian ICT. Analisa regressi (mundur) memungkinkan prediksi atas nilai-nilai yang diambil oleh sebuah variabel yang tidak putus-putus untuk satu set variabel-variabel penjelasan X1, X2,...,Xp. Penerapannya pada riset ini tampaknya cukup.
Aplikasinya
Kenyataannya, tidak ada masalah pokok multikolinieritas yang terdeteksi walaupun keberadaan dari korelasi yang signifikan diantaran variabel-variabel independen berkut ini = PD/ID ; ID/LOT ; ID/EDU dan PD/EDU(tabel 2). Seperti disebutkan oleh Hofstede, dimensi-dimensi budaya ini memiliki hubungan diantaran mereka (hal itu) dan dengan varabel-variebel sosio ekonomi seperti tingkat pendidikan. Tapi, semua nilai-nilai dari faktor-faktor inflasi perbedaannya (VIF), yang memungkinkan untuk menguji apakah korelasi-korelasi diantara variabel yang independen menyebabkan satu problem multikolinieritas,yang tercakup diantara t,202 dan u,121. nilai-nilai ini adalah jauh lebih sedikit daripada 10, satu nilai pemotongan yang sering ditegaskan dari multikolinieritas (Bagchi dkk,2004)

6. HASIL DAN DISKUSI
Sebagai tambahan untuk WMI,laporan PBB (2005) yang menyediakan data tentang pemberian pelayanan e-pemerintah dengan tingkatan-tingkatan evolusi. Tingkatan-tingkatan ini mungkin terkait dengan dalamnya pemakaian e-pemerintah dengan PA. Data menunjukkan bahwa PA berbeda pada penyajian di Web, tapi juga itu memiliki skor yang berbeda pada level dari tingkatan ini. Ini mencerminkan level-level yang beda dari pemakaian e-pemerintah dengan PA. Untuk menguji apakah dampak dari varibel-variabel budaya dan sosioekonomi dapat membedakan sesuai denan tingkat keterikatan dalam tingkatan-tingkatan evolusi e-pemerintah, koefisien-koefisien dari korelasi yang pertama-tama dihitung (tabel 3). Hasil-hasilnya menunjukkan bahwa :
 Pada tingkat pertama dari evolusi e-pemerintah, semua koefisien korelasiya adalah rendah dan tidak signifikan. Itu adalah positif untuk variabel-variabel ID,MA dan EDU, dan negative untuk variabel PD, UA, dan LOT
 Pada tingkat ke dua dan ke tiga, variabel ID dan EDU, menunjukkan koefisien-koefisien dari korelasinya signifikan dan positif. Koefisien-koefisien ini adalah signifikan dan negatif untuk variabel PD. Untuk UA, LOT, dan MA, koefisien-koefisiennya adalah rendah dan tidak signifikan. Itu adalah negatiif dalam hal UA dan LOT, dan positif untuk MA
 Pada tingkat ke empat,variable-variabel ID, EDU, dan PD menunjukkan hasil-hasil yang sama seperti yang ada di tingkat kedua dan ketiga. Dan juga, UA mempunyai satu koefisien yang signifikan dan negative. Koefisien-koefisien yang terkait dengan LOT dan MA adalah tidak signifikan
 Hasil-hasil yang sama diperoleh pada tingkat ke 5 dan WMInya
 Diantara variabel-variabel yang independen, EDU mempunyai koefisien-koefisien tertinggi dari korelasinya (di dalam istilah nilai-nilai yang mutlak / absolut) yang mana menekankan kepentingannya. Koefisien ini memiliki satu nilai yang lebih tinggi pada tingkat kedua daripada yang lainnya. Jadi, dampak dari variabel-variabel budaya dan dari tingkat pendidikan muncul secara progresif dengan evolusi e-pemerintah. Hubungan diantara variabel-variabel ini tergantung pada tingkat pemakaian e-pemerintah mungkin ada. Untuk menguji dengan baik hubungan-hubungan ini dan mengidentifikasi variabel-variabel yang paling signifikan, satu analisa mundur (regresi) (tabel 4) di lakukan untuk masing-masing tingkat evolusidari e-pemerintah dan untuk WMI. Koefisien dari penentuan/determinasi ukuran R2 mengukur proporsi dari perbedaan dalam variabel yang dependen seperti dijelaskan oleh varibel-variabel yang independen dalam satu model/contoh regresi (mundur), dan koefisien-koefisien Beta yang distandarkan yang digunakan untuk membuat pernyataan-pernyataan tentang pentingnya hubungan mereka. Sebuah nilai Beta yang lebih tinggi, untuk satu variabel independen yang diberikan, berarti bahwa variabel ini adalah lebih relevan daripada yang lainnya.
Dalam satu langkah analisa pertama, sebuah model regresi yang pertama(hasil-hasil dari model ini tidak diberikan di tabel 4), di mana lima dimensi brdaya termasuk, itu dites.Hasil-hasil dari modeln ini menunjukkan bahwa variabel-variabel ini mempunyai hubungan yang tidak signifikan dengan pemakaian e-pemerintah dengan PA pada semua stage / tingkat evolusi. Itu juga permasalahan untuk WMI. Jadi, hipotesa 1 sampai 5 ditolak
Karena skor-skor dari variabel LOT hanya tersedia di 24 negara, angka yang rendah ini mungkin mempengaruhi hasil-hasilnya. Untuk alasan inilah, sebuah model regressi yang kedua dites untuk 4 variabel budaya ; PD, ID, UA, dan MA ( model 2 ). Hasil-hasil dari modil-model 2 (tabel 4) menunjukkan bahwa variabel-variabel budaya memiliki koefisien yang tidak signifikan pada tingkat pertama dari evolusi e-pemerintah dan bahwa koefisien R2 adalah Rendah ( R2 = 0,054 ). Dalam fase ini, informasi dasar dan terbatas diberika pada websites-statistik yang disusun untuk konsultasi tanpa kemungkinan-kemungkinan dari komunikasi atau interasi dengan PA. Karakreristik dari situs ini tidak kontradiksi dengan dimensi budaya dari satu bangsa. Panya dapat memakai tingkat ini tanpa paksaan/batasan atau rangsanyan/dorongan budaya.
Kontribusi dari variabel budaya kepada perbedaan yang dijelaskan dari pemakaian e-pemerintah meningkat dari tingkat kedua (R2 diantara 0,211 dan 0,305). Diantara variabel budaya,ID menunjukkan koefesien yang positif dan signifikan pada tingkat 2,3,4 dan 5 dan pada WMI. Dengan mencaei sebuah pemberian pelayanan publik yang lebih baik dan sebuah perbaikan dari efisiensinya, PA dalam budaya yang individu memakai ICT lebih banyak daripada dlam budaya kolektif. Oleh karena itu, H2 didukung. Koefisien yang terkait dengan US adalah negatif dan signifikan pada tingkat ke 4 dan5, negatif-signifikan pada tingkat 3 dan pada WMI dan persif dan positif-signifikan pada tingkat 1 dan 2. konsekuensinya, H4 (pemakaian e-pemerintah dengan PA meningkat dalam budaya Uanya rendah), ini sebagian didukung. PA yang mempunyai koefisien negatif dan signifikan pada ssemua tingkat dari evolusi e-pemerintah dan pada WMI. Jadai variabel ini tidak punya satu hbungan dengan pemakaian e-pemerintah dengan PA ( tapi tanda dari hubungan itu adalah seperti yang diharapkan), bertentangan dengan apa yang diharapkan pada hipotesa HI. MA menunjukkan koefisien yang signifikan pada semua tingkat dari evolusi e-pemeritah. Oleh karena itu, variabel ini tidak mempunyai dampak pada pemakaian dari e-pemerintah dengan PA yang bertentangan dengan apa yang diharapkan / dihipotesakan (H3).
Pada langkah analisa kedua, variabel sosio ekonominya diberikan dengan model regressi (molel 3, tabel 4). Hasil-hasilnya menunjukkan bahwa nilai-nilai dari koefisien penentunya R2 meningkat. Seperti ditemukan dalam model ke-2, pada stage (tingkat) pertama dari evolusi e-pemerintah. Variabel budaya dan sosioekonomi tidak punya dampak pada pemakaian itu. Tingkat ini berhubungan dengan satu penyajian yang pasif dari PA pada WEB, dimana situs-situsnya adalah statis ini tidak mempunyai kontradiksi dengan variabel budaya dan tidak menuntut satu pendidikan yang tinggi. Tingkat pendidikan itu merupakan satu variabel yang penting pada tingkat-tingkat e-pemerintah yang ke-2, ke-3,ke-4 dan ke-5 dan pada WMInya. Karena koefisien BETA adalah positif dan signifikan, hipotesa H6 didukung.setelah pengenalan variabel sosioekonomi (EDU), ID tidak mempunyai pengaruh lebih banyak lagi (BETA adalah positif dan signifikan) (ini halaman 19) oleh karna itu hipotesa H2 tidak didukung. Ini bisa dapat disebabkan pada korelasi yang tinggi diantara EDU dan ID (tabel 2). Sebaliknya koefisien-koefisien dari UA adalah negatif dan kesignifikannya meningkat pada tingkat 4 & 5.
Koefisien BETA yang terkait pada UA memiliki nilai paling tinggi pada tingkat 5. dan juga varibel budaya ini memiliki hubungan negatif yang signifikan dengan WMI.dalam tingkat pertama ini (2,3) dari evolusi e- pemerintah, komunikasi dan interaksi adalah bersifat perlu secara tidak langsung dengan informasi yang sedang berjalan yang penting, dari pemerintah kepada warga negara (PBB 2005). Ini mungkin tidak membutuhkan tindakan-tindakan keamanan yang di kembangkan, jadi pentingnya variabel UA dapat menjadi redah. Tapi dari tingkat 4, transaksi online, pertukaran informasi perorangan, dan pembayaran secara online menjadi mungkin ini menuntut perkembangan dari lebih banyak perangkat keamanan (PBB 2005). Bila warga negara menganggap bahwa penggunaan dari jasa-jasa (e-mail) yang ditawarkan oleh PA adalah tidak dengan cukupnya keamanan, mereka mungkin menolak hal itu.Juga untuk tuntutan keamanan stage 5 memb utuhkan kerjasama diantara badan-badan / lembaga publik yang berbeda-beda untuk integrasi / penyatuan mereka. Kerjasama sering disebutkan diantara penghalang-penghalang dari perkembangan e-pemerintah (PBB, 2002, OECD, 2003), maka resiko dari kegagalannya meningkat. Bagaimanapun juga, para pembuat keputusan dalam PA adalah menolak resiko dan lebih suka” mengkaitkan dengan uji coba dan kebenaran / hal-hal nyata (Bartdi, 2005, P.320), maka seperti yang diharapkan dalam hipotesa H4, UA berperan secara negatif pada pemakaian e-pemerintah dengan PA.
Pengaruh dari variabel PD pada pemakaian e-pemerintah pada semua tingkat evolusi dan pada WMInya adalah tidak signifikan, walaupun itu ada dalam petunjuk / arahan negatif yang diharapkan. Konsekensinya hipotesa H1 tidak didukung. PD kelihatannya tidak memiliki dampak pada pemakaian dari e-pemerintah oleh PA
Untuk variabel MA, dampak / pengaruh pada semua tingkat evolusi dan pada WMI. Adalah tidak signifikan. Koefisien-koefisien Beta adalah negatif pada tingkat 4 & 5 dan positif pada stage (tingkat) 1,2,3 dan pada WMI-nya. Oleh karena itu, hipotesa H3 adalah tidak didukung, yang menegaskan bahwa budaya-budaya maskulin seperti budaya-budaya feminin memakai cara yang sama yaitu e-pemerintah.
Sejak Gong dkk (2007) menemukan bahwa dampak dari dimensi LOT pada penetrasi pada aturan yang luas meningkat ketika memperkenalkan ”variabel pengontrol” tingkat Pendidikan” dalam model regressi, variabel LOT kembali diperkenalkan diantara variabel- variabel independen (model 4, tabel 4). Itu tampak bahwa lima variabel budaya dan variabel sosioekonomi memberikan penjelasan yang lebih baik pada perbedaan dari pemakaian e-pemerintah (nilai-nilai dari koefisien R2 meningkat). Koefisien Beta dari bariabel EDU masih positif dan signifikan menjadi lebih tinggi. Oleh karena itu, hipotesa H6 didukung. Tetapi dengan pengenalan kembali dari LOT. Beta yang negatif dari UA menjadi tidak signifikan.Konsekuensinya, hipotesa H4 tidak didukung. Ini dapat dibenarkan dengan fakta bahwa bila LOT meningkat, jangka panjang dari manfaatnya e-pemerintah dapat dirasakan dengan lebih baik. Sebagai satu hasilnya, pengaruh dariUA mungkin menjadi berimbang.Walaupun koefisien korelasi dari LOT dan UA adalah rendah dan tidak signifikan (tabel 2) tanda negatifnya berarti bahwa 2 variabel ini berperan secara terbalik.
Disamping itu, model 4 menunjukkan bahwa variabel PD memiliki dampak / pengaruh negatif dan signifikan pada tingkat ini lalu, hipotesa H1. sebagia didukung. Tingkat ini menerapkan jaringan dari bermadam badan/lembaga dari PA, koperasai/kerjasama diantaran badan-badan ini,berbagi informasi dan pergantian-pergantia organisasi utama (Ebrahim dan Irani,2005). Begitu juga, itu mendorong partisipasi warga negarn, dalam proses politik dan pembuatan keputusan dan melibatkan masyarakat dalam satu dialog terbuka 2 arah (ONU,2005). Ini dapat ada didalam kontradiksi dengan nilai-nilai budaya dari satu negara dimana PD nya tinggi ; lembaga-lembaga/struktur yang bersifat sentral,respek pada lembaga-lembaga yang berwenang,aplikasi dari aturan-aturan formal dan instruksinya juga, lebih suka pada status quo. Koefisien Beta dari variabel LOT, ID dan MA adalah tidak signifikan, itu bersifat negatif untuk LOT dan ID dan positif untuk MA. Berlawanan dengan harapan-harapan,hipotesa H5,H2 dan H3 adalah tidak didukung dan arahan / petunjuk yang bertentangan dengan hubunga yang diusulkan/dimaksudkan. Tabel 5 memberikan sebuah ringkasan dan hasil bersebut.
Maka kita bisa menyimpulkan bahwa :
 Hipotesa H1 ditolak dalam 3 model pertama. Ini kontradiksi dengan hasil-hasil dari Kovacic (2005), yang menemukan bahwa PD berperan secara negatif pada WMI dan hasil-hasil dari Bagchi dkk (2004) dan Gong dkk(2007) menurut pemakaian PC,telepon,telepon seluler (Bagchi dkk, 2005) dan internet (Gong,2007) meningkat dalam negara-negara yang PDnya rendah. Tetapi,model 4 memberikan sebuah suport/dukungan minor/kecil untuk hipotesa H1 ,Yang menegaskan bahwa PD mungkin secara negatif di asosiasikan dengan pemakaian e-pemerintah dengan PA.
 Hipotesa H2 ditolak dalam model 1,2,3, dan 4, dan didukung di model 2. dalam permasalahan yang terakhir hasil-hasilnya diperkuat dengan hasil-hasil yang ditemukan oleh Kovacic (2005), Bagchi dkk, (2004) dan Erumban dan de jong (2006). Menurut model yang kedua, pemakaian e-pemerintah meningkat dalam budaya-budaya individulistik dan IDnya adalah variabel budaya yang paling signifikan. Tapi hubungan ini tetap signifikan dengan pengenalan / pemakaian dari variabel sosioekonomi yaitu EDU (model 3) dan variabel budaya yaitu LOT (model 4).
 Hipotesa H3 ditolak disemua model / contoh : maka nilai-nilai budaya, seperti kemashulinan dan kefemininan, tidak memiliki pengaruh / dampak pada pemakaian e-pemerintah dengan PA. Hasil-hasil yang sama menunjukan bahwa kemashulinan tidak memiliki hubungan dengan pemakaian dari ICT secara umum (Erumban, dan de jong, 2006), dan dengan indeks kesiapan e-pemerintah secara khusus ( Kovacic, 2005 ). Tapi, hasil ini bertentangan dengan hasil dari Gong dkk, (2007) yang menemukan bahwa kemashulinan memiliki satu efek yang negatif pada pengaksesan internet dan penggunaanya, dan Bagchi dkk (2004) yang mengungkapkan satu hubungan yang kuat diantara budaya-budaya feminin dan pemakaian telephon, dan telpon selluler. Hasil ini mungkin di jelaskan oleh fakta bahwa e-pemerintah tampaknya merespon keduanya baik budaya / nilai-nilai feminin dan maskulin, itu bertujuan untuk menyediakan sebuah manajemen pemerintahan yang efisien, memperkuat warga negara melalui mengakses dan partisipasi dalam pembuatan keputusan tentang kebijakan publik (PBB, 2005), meningkatkan kwalitas pelayanan-pelayanan publik, membangun kepercayaan diantara PA dan warga negara, dan meraih sasaran-sasaran ekonomi (OECD, 2003, UN, 2004).
 Hipotesa H 4 ditolak dimodel 1 & 4, sebagian didukung dimodel 2 dan didukung dimodel 3. Jadi penegasan bahwa pemakaian dari e-pemerintah meningkat di negara-negara dimana UAnya rendah, yang memberikan hasil-hasil campuran. Dalam hal yang sama Bagchi dkk, (2004) menemukan bahwa hubungan diantara pemakaian UA, dan ICT tidak jelas. Dan juga pengetesan dari hubungan UA dan tingkat kesiap siagaan e-pemerintah hanya secara lemah didukung dalam hasil kerja dari Kovacic, (2005).
 Hipotesa H 5, pemakaian e-pemerintah dengan PA meningkat di negara-negara yang berkarakterkan dengan budaya LOT, yang tidak didukung. Hasil-hasil ini kontradiksi dengan penemuan Gong dkk, (2007) yang mencatat bahwa dimensi / ukuran budaya memiliki pengaruh yang positif lagi signifikan pada penggunaan internet dan pengaksesannya dan bahwa pengaruh / dampak ini meningkat ketika mencakup varibel pengontrol” tingkat pendidikan dalam model regresi (mundur), yang ditest untuk variabel” penetrasi aturan yang luas. Itu tampaknya bahwa baik para peneliti maupun para praktisi lelah mencari keuntungan dari e-pemerintah dan program e-pemerintah tetap pada puncak agenda kebijakan di kebanyakan negara (UN / PBB, 2002), secara independen dari variabel budaya untuk orientasi jangka panjang / jangka pendek.
 Hipotesa H 6, didukung. Koifisien Beta dari variabel EDU (tabel 4) adalah lebih tinggi dari pada yang ada pada variabel budaya yang menegaskan bahwa EDU adalah lebih tinggi dalam pemakaian e-pemerintah. Koefisien tertinggi diperoleh pada stage 2 (tabel 4). Walaupun aliran komunikasi dan informasinya masih tidak secara langsung/terarah (PA  masyarakat), tingkat ini adalah lebih canggih daripada yang pertama (UN, 2005). Pada awalnya, warga negara dan para karyawan di PA bisa menghadapi masalah tehnik, pemecahan masalah-masalah ini mungkin menuntut tingkat pengetahuan yang tinggi. Lalu, akumulasi dari pengalaman-pengalaman menghasilkan pengetahuan-pengetahuan dan ketrampilan-ketrampilan yang baru yang dapat digunakan untuk menggunakan tingkat-tingkat evolusi e-pemerintah yang lebih baik.

7. KESIMPULAN
Studi ini di disain untuk menguji apakah karakteristik budaya bisa menjelaskan perbedaan-perbedaan dalam adopsi / pemakaian e-pemerintah di seluruh dunia dengan PA. Itu di temukan bahwa hasil-hasilnya bervariasi menurut model regresi yang di tes, dan dimensi-dimensi/ukuran-ukuran budaya nasional yang mempengaruhi pemakaian e-pemerintah. Di antara variabel-variabel budaya ID dan UA adalah paling signifikan dan PD adalah kurang prnting. Bagaimanapun juga, hasil-hasil menunjukkan bahwa variabel budaya dan sosioekonomi, diambil bersama-sama, yang menjelaskan secara lebih baik dari pemakaian e-pemerintah dengan PA. Tingkat pencapaian Pendidikan adalah lebih penting karena e-pemerintah menuntu rekombinasi dari usaha-usaha dan keahlian dari para pemegana kendali (PA, Partner-pribadi/swasta,dalam hal out sourcing/pengeluaran,dll) untuk pengembangan jasa-jasa email yang merespon keperluan-keperluan dari satu masyarakat. Sebaliknya, untuk mampu menggunakan jasa/pelayanan Email,masyarakat harus memiliki ketrampilan-ketrampilan yang diharuskan.
Studi ini memiliki implikasi baik untuk teori maupun praktek dari pemakaian e-pemerintah dengan PA yang diukur dengan WMI dan degna stage/tingkatan-tingkatan dari evolusi e-pemerintah, maka hasil-hasilnya mengdentifikasi dimensi-dimensi budaya yang paling signifikan dengan stage-stage/tingkat-tingkat. Untuk mengambil perhitungan dari variabel-variabel budaya yang signifikan ketika nenguraikan pemakaian e-pemerintah dengan PA,mungkin jadi penting. Pada satu tingkat teori,studi ini menegaskan untuk menambahkan variabel pada teori-teori dan model lainnya,seperti teori difusi/penyebaran inovasi (DOI), teori perilaku yang terencana (TPB),dan model penerimaan tehnologi (TAM),untuk mempelajari pemakaian e-pemerintah. Horst (2007),sebagai contoh menemukan bahwa resiko yang dirasakan oleh warga negara adalah secara berbalik terkait pada penggunaan dari jasa e-pemerintah yang dirasakan dan bahwa ini kemudian merupakan satu penentu dari kehendak-kehendak warga negaran yang penting untuk memakai jasa/pelayanan e-pemerintah.
Penelitian ini bukan bebas dari Persyaratan. Batasan pertama terkait dengan pengukuran budaya nasional. Dimensi-dimensinya berasal dari pendekatan milik Hofstede. Juga untuk kritikannya (Baskerville,2003,2005), Hofstede memberikan skor regional untuk Dunia Arab, Afrika Timur dan Barat. Karena skor-skor ini bersifat regional dan bahwa negara-negara bisa memiliki skor-skor yang berbeda dari negara-negara wilayah tersebut,negara-negara yang termasuk wilayah ini adalah ditiadakan dari studi ini walaupun tersedianya data pada pemakaian e-pemerintah dalam laporan UN (PBB) 2005). Data dalam laporan ini menunjukkan bahwa lebih sedikit negara-negara yang terlibat dalam stage 4 dan 5, dan potensi penuh pada stage-stage ini tidak di exploitasi. Pendekatan-pendekatan berbeda dari e-pemerintah menurut negara-negara itu harus dipertimbangkan (OECD,2003). Jadi, tidak menyadari adanya variabel-variabel seperti sistem politik,politik-politik strategis pemeintah, dan tantangan-tantangan organisasi ( Layne dan Lee, 2001, Ebrahim,dan Irani, 2005) dalam pemakaian e-pemerintah dan khususnya,evolusi pada tingkat 4 dan 5 adalah merupakan satu batasan lainnya.

Referensi

Bagchi, K., Hart, P. et Peterson, M.F., 2004, « National Culture and Information Technology Product Adoption”, Journal
of Global Information Technology Management, 7, 4, pp.29-46.
Bartoli, A., 2005, Le management dans les organisations publiques, Edition Dunod, Paris.
Baskerville, R.F., 2003, “Hofstede never studied culture”, Accounting, Organizations and Society, 28, pp.1–14.
Baskerville, R.F., 2005, “A research note: the unfinished business of culture”, Accounting, Organizations and Society, 30, pp.389–391.
Ebrahim, Z. et Irani, Z., 2005, “e-Government adoption: architecture and barriers”, Business Process Management
Journal, Vol.11, N°5, pp.589-611.
El Jamali, T., Plaisent, M., Benyahia, H., Bernard, P. et Maguiraga, L., 2004, « La France à l’heure du e-gouvernement »,
9ème Colloque de l’AIM, « Systèmes d’information : Perspectives critiques », 26, 27 et 28, mai 2004, INT Evry France.
El Louadi, M., 2004, « Cultures et communication électronique dans le monde arabe », Systèmes d’information et
Management, Vol.9, N°3, pp.117-143. Erumban, A.A. et de Jong, S.B., 2006, “Cross-country differences in ICT adoption: A consequence of culture?”, Journal of World Business, 41, pp.302–314.
Gong, W, Li, Z.G. et Stump, R.L., 2007, « Global internet use and access: cultural considerations”, Asia Pacific Journal of Marketing and Logistics, Vol. 19, N°1, pp. 57-74.
Hall, E.T., 1976, Beyond Culture, Anchor Books, New York, NY.
Hofstede, G., www.geert-hofstede.com/hofstede_dimensions.php, access : 14-09-07.
Horst, M., Kuttschreuter, M.T., Gutteling, J.M, 2007, “Perceived usefulness, personal experiences, risk perception and
trust as determinants of adoption of e-Government services in The Netherlands”, Computers in Human Behavior, 23, pp.1838–1852.
Kovacic, Z.J., 2005, “The Impact of National Culture on Worldwide e-Government Readiness”, Informing Science Journal, Vol.8, pp.143-158.
Layne, K. et Lee, J., 2001, “Developing fully functional e-Government: a four stage model”, Government Information Quarterly, Vol.18, N°2, pp.122-136.
Moon, M.J., 2002, “The evolution of e-Government among municipalities: Rhetoric or reality?”, Public Administration Review, 62, 4, pp.424-443. OCDE, 2003, “The e-Government imperative”,www1.worlbank.org/publicsector/egov/e-governmentImperative.pdf, 199p, access: 5-03-04.
ONU, 2002, “Benchmarking e-Government: A Global perspective, assessing the progress of the UN member states”,
81pp. www.golconferenceca/presentations/e-Government_UN.pdf, access: 5-02-04.
ONU, 2003, “World Public Sector Report 2003: e-Government at the Crossroads”,
unpan1.un.org/intradoc/groups/public/documents/UN/UNPAN012733.pdf, access: 05-09-05, 129p.
ONU, 2004, “Global e-Government readiness report 2004: Towards access for Opportunity”, New York, 182p.
http://unpan1.un.org/intradoc/groups/public/documents/un/unpan019207.pdf, access: 29-08-05.
ONU, 2005, “From e-Government to E-inclusion”, UN Global e-Government Readiness Report,
unpan1.un.org/intradoc/groups/public/documents/un/unpan021888.pdf, pp.1-270, access: 21-09-07.
Qian, H., 2007, “UNDESA Initiative on Global e-Government Assessment”, pp.1-10, access: 21-09-07,
unpan1.un.org/intradoc/groups/public/documents/APCITY/UNPAN024987.pdf. Rosenberg, N., 1972, “Factors affecting diffusion of technology”, Explorations in Economic History, 10, 1, pp.3-33.
World Bank list of economies (July 2007), siteresources.worldbank.org/ DATASTATISTICS/Resources/CLASS.XLS,

Jurnal Asli SIM Rokman

Public Administration Presence on the Web: a Cultural
Explanation
Fatma Bouaziz
Faculty of Economics and Management, University of Sfax, Tunisia
fatma.bouaziz@fsegs.rnu.tn
Abstract: UN reports (2002-2005) reveal several differences in worldwide adoption of e-Government by public administration (PA). This research conducts an analysis of the impact of the national culture on e-
Government adoption by PA to attempt to explain these differences. The impact of culture, as defined by
Hofstede, is tested at the level of Web Measure Index and at the different stages of e-Government evolution.
The regression analysis and Pearson’s coefficients show the importance of Individualism and Uncertainty
Avoidance. Power Distance has lower impact on e-Government adoption. The level of education attainment
moderates these relationships.
Keywords: e-Government, stages of e-Government evolution, Web Measure Index, national culture.
1. Introduction
e-Government programs remain at the top of most countries policy agendas (UN, 2002). The emphasis on
the e-Government may be due to the potential of information and communication technologies (ICT) to
transform public administration (PA) to an efficient system, enhance public services quality, establish trust
between PA and citizens and realize economic objectives (OECD, 2003; UN, 2004). In fact, e-Government
aims at providing an efficient government management, better service delivery, and empowerment of
citizens through access to information and participation in public policy decision making (UN, 2005). For
these benefits, the PA in most countries develops Web sites, portals and electronic services delivery (UN,
2002; 2003; 2004; 2005). However, differences in worldwide adoption of e-Government are considerable.
The e-Government readiness index estimated for each of UN countries varies between 0, 9062 in the United
States of America and 0, 0011 in Liberia (UN, 2005). The Web Measure Index varies between 0 (no
presence for countries like Haiti, Zambia, Liberia, etc.) and 1 in the United States of America.
Certainly, the diffusion of the Web in PA leans on a political will that mobilizes the necessary human,
material and financial resources. But, this diffusion depends also on social and economic variables (UN,
2002). UN (2005) affirm that e-Government readiness is a function of a country’s situation of technological
and telecommunication infrastructure and of the level of its human resource development. Nevertheless, “the
number of variables - social, legal and institutional as well as economic and technological - which might
retard the diffusion process is virtually limitless’’ (Rosenberg, 1972, cited by Erumban and de Jong, 2006,
p.303). Recently, several researchers show the importance of culture in IT adoption and justify the
divergences between countries in the adoption of ICT, in general (Erumban and de Jong, 2006) and of
specific technologies, such as Internet, PC, fax machines, cellular phone, telephone and pagers (Bagchi and
al., 2004; Gong and al., 2007) on the base of the cultural variables. According to Zghal (2001), cultures
include both favourable factors to ICT exploitation and unfavourable ones that may hinder an efficient
implementation of these technologies. So, this research tries to answer this question: what is the impact of
the national culture on the adoption of the e-Government by the PA? The analysis starts with the definition of
e-Government and the presentation of its stages of evolution. Then, an explanation of the differences
between the countries use of the e-Government is advanced on the base of a cultural perspective and the
hypotheses are formulated. After the precision of the methodology, the results and their interpretations are
presented. We end by a conclusion where the contributions and limits of this study are discussed.
2. e-Government: Definition, dimensions and stages of evolution
2.1 Definition and dimensions of e-Government
UN (2005, p.14) define e-Government as “the use of ICT and its application by the government for the
provision of information and public services to the people”. Broadly defined, e-Government includes all ICT
platforms and applications in use by the public sector. The objectives are a continuous optimization of public
services delivery and information dissemination, citizens’ participation in political processes, while
transforming the internal and external relationships and processes by the technology, the Internet and the
new medias (Moon, 2002; UN, 2002). Narrowly defined, e-Government is the use of ICT between PA
Electronic Journal of e-Government Volume 6 Issue 1 2008 (11-22)
www.ejeg.com 12 ©Academic Conferences Ltd
agencies, enterprises, and citizens to simplify and improve information diffusion, communication and public
services delivery (Moon, 2002; UN, 2002).
According to El Jamali and al. (2004), a complete definition of e-Government must consider all partners of
PA. e-Government includes interactions between the administration and the citizens “Government to
Citizens” (G2C), the administration and the business “Government to Business” (G2B), and the PA agencies
“Government to Government” (G2G). These interactions concern the information diffusion, communication
and / or the realization of online transactions. The G2C/C2G allows citizens to consult information, to
communicate and to make transactions instantaneously and easily. Several interactions such as services
delivery, social assistance, legal authorization, etc., can be developed. The G2B/B2G refers to the use of
ICT in relationships between PA agencies and private and public business for information diffusion,
communication and realization of administrative formalities. Finally, the G2G refers to the use of ICT
between PA agencies at national, regional and local levels. PA is composed of several agencies that can
intervene, each according to its domain of expertise, in the realization of the same transaction. ICT (Internet,
Intranet, Web servers, etc.) allow them to share their data and to put in common their knowledge and
resources. Moreover, they allow the development of technological and organizational platforms that integrate
operational, decisional and management processes (El Jamali and al., 2004).
2.2 Stages of e-Government evolution
According to Layne and Lee (2001), e-Government implementation follows an evolutionary process starting
with the phase of information, then the phases of interaction, transaction, and horizontal and vertical
integration (Moon, 2002; El Jamali and al., 2004). However, it is not obligatory for a PA to follow a linear
progression in the implementation of e-Government. The possibility to evolve to stages of integration before
exploiting the full potential of information or interaction phases is not excluded. UN (2005) presents a model
of e-Government evolution composed of five stages. These five stages will be used in the statistical analysis.
For this reason, the model of e-Government evolution and its components’ definitions are adopted (UN,
2005):
Table 1: Stages of e-Government evolution, (UN, 2005, p.16)
Emerging Presence is stage 1 representing information, which is limited and basic. The e-Government online presence
comprises a web page and /or an official website; links to ministries/departments of education, health, social welfare,
labour and finance may/may not exist; links to regional/local government may/may not exist; some archived information
such as the head of states' message or a document such as the constitution may be available on line, most information
remains static with the fewest options for citizens.
Enhanced presence is stage 2 in which the government provides greater public policy and governance sources of current
and archived information, such as policies, laws and regulation, reports, newsletters, and downloadable databases. The
user can search for a document and there is a help feature and a site map provided. A larger selection of public policy
documents such as an e-Government strategy, policy briefs on specific education or health issues. Though more
sophisticated, the interaction is still primarily unidirectional with information flowing essentially from government to the
citizen.
Interactive presence is stage 3 in which the online services of the government enter the interactive mode with services to
enhance convenience of the consumer such as downloadable forms for tax payment, application for license renewal.
Audio and video capability is provided for relevant public information. The government officials can be contacted via
email, fax, telephone and post. The site is updated with greater regularity to keep the information current and up to date
for the public.
Transactional presence is stage 4 that allows two-way interaction between the citizen and his/her government. It includes
options for paying taxes; applying for ID cards, birth certificates/passports, license renewals and other similar C2G
interactions by allowing him/her to submit these online 24/7. The citizens are able to pay for relevant public services,
such as motor vehicle violation, taxes, fees for postal services through their credit, bank or debit card. Providers of goods
and services are able to bid online for public contacts via secure links.
Networked presence is stage 5 which represents the most sophisticated level in the online e-Government initiatives. It
can be characterized by an integration of G2G, G2C and C2G (and reverse) interactions. The government encourages
participatory deliberative decision-making and is willing and able to involve the society in a two way open dialogue.
Through interactive features such as the web comment form, and innovative online consultation mechanisms, the
government actively solicits citizens’ views on public policy, law making, and democratic participatory decision making.
Implicit in this stage of the model is the integration of the public sector agencies with full cooperation and understanding
of the concept of collective decision-making, participatory democracy and citizen empowerment as a democratic right.
Fatma Bouaziz
www.ejeg.com 13 ISSN 1479-439X
3. e-Government adoption by PA: A cultural explanation
The Web Measure Index (WMI) (UN, 2002-2005) assesses the websites of the governments to determine if
they are employing e-Government to the fullest. This index provides an evaluation of Internet and World
Wide Web utilization by the PA for the diffusion of information and the public services delivery.
UN results (2005, p.57) reveal that PA in 179 countries are online in 2005. However, disparities between
countries are considerable: the WMI varies between 0 (no presence for countries like Haiti, Zambia, Liberia,
etc.) and 1 in the United States of America. These disparities concern countries with different levels of
economic, social and technological development, but even for industrialized countries, having similar
features, differences in the WMI exist. In addition, 22 developing countries are among the 50 first countries.
Among these 22 countries, 11 are better classified than some industrialized and high income per capita
countries such as France, Iceland and Switzerland (appendix 1).
Several researchers (Bagchi and al., 2004; Erumban and de Jong, 2006; Gong and al., 2007) justify the
worldwide divergences in the adoption of ICT, in general, or of specific technologies such as Internet, PC,
fax machines, telephone, cellular phone and pagers by the cultural differences between countries. In fact,
different cultures react differently to new products and technological innovations (Gong and al., 2007) and
deciding to adopt such technologies may be influenced by the social and cultural features and the perceived
values of the individuals within a society (Erumban and de Jong, 2006). Therefore, culture can be considered
as a factor that differentiates between countries in the adoption of ICT.
Zghal (2001, p.5) defines culture as an internal logic, a sort of habits and a tacit understanding terrain that
members in a society share and to which each adjust his/her behaviours. So, individuals share a collective
national character that shapes their values, believes, attitudes, and determine their behaviours in a society. It
is a system of values collectively shared (Hofstede) or culture that differentiates between the countries. Gong
and al. (2007) and Erumban and de Jong (2006) recognize two theoretical approaches of the national
culture: the approach of Hall (1976) and the approach of Hofstede. According to Gong and al. (2007), In
Hall’s approach, culture is seen as a unidimensional construct in which countries are grouped into either
high/low or high/medium/low context categories. This distinction is based on the way messages are
communicated within a society. In high context cultures (e.g. Japan, China), contextual significations are
important in the interpretation of a message, while in low-context cultures (e.g. USA, Canada), most of the
information is explicitly expressed in the words (Gong and al., 2007). Gong and al. (2007) highlight that the
studies that have used the Hall’s approach to explore the influence of culture on the diffusion have shown
mixed results because of an empirical measurement problem when using this approach. In addition,
according to Erumban and de Jong (2006), this approach doesn’t describe the cultural differences between
countries in a detailed manner. So, more sensitive measures of national culture are needed.
Based on data from an empirical survey carried on between 1967 and 1973 with about 116 000 employees
of IBM in 50 countries and 3 regions, Hofstede observes that the national cultures can be distinguished on
four cultural dimensions: Power Distance, Uncertainty Avoidance, Individualism/ Collectivism and
Masculinity/ Femininity. A fifth dimension was added later (Long-Term Orientation). Hofstede’s approach of
culture and in particular these dimensions are the most studied when considering ICT adoption at a national
level (Bagchi and al., 2004; Kovacic, 2005; Erumban and de Jong, 2006; Gong and al., 2007). Despite the
criticism of its methodology and its limited context (Baskerville, 2003; 2005), this approach offers the most
robust measures of national cultures and its five dimensions are considered as the most discriminating
factors between countries (Gong and al., 2007). Bagchi and al. (2004) stress their relevance to assess
culture’s influence on adoption of ICT. Besides, all these authors conclude that differences in adoption of ICT
between countries can be attributed to the national culture as it is described in Hofstede’s approach. Thus,
these dimensions provide better criteria for assessing culture’s influence on ICT adoption, and will be used to
analyze differences observed in the case of e-Government. Nevertheless, cultures include both favourable
factors to ICT exploitation and unfavourable ones that may hinder an efficient implementation of these
technologies (Zghal, 2001). So, if culture has a certain duality on behaviours, the question is: what are
among these dimensions those that may have an impact on e-Government adoption by PA? Each dimension
of culture and its expected relationship with ICT adoption are discussed below.
Electronic Journal of e-Government Volume 6 Issue 1 2008 (11-22)
www.ejeg.com 14 ©Academic Conferences Ltd
4. Culture’s dimensions and e-Government adoption by PA: an analytical
framework
4.1 Power distance (PD)
Power distance is the extent to which a society accepts differences and inequalities in power distribution
among individuals, organizations and institutions. In large (high-scoring) PD countries, individuals are more
ready to accept power differences and a large hierarchical order than individuals in small PD countries.
These later countries are characterized by decentralized and participative decision making structures
(Bagchi and al., 2004).
Since ICT can contribute to the decentralization of decision making by allowing more suitable information
diffusion and sharing, they will be more accepted in small PD countries. In these countries, Kovacic (2005)
remarks that citizen involvement to political decision processes is solicited, and requires ICT implementation.
Hence, this author suggests that the large PD countries may have negative attitudes toward the adoption of
ICT.
But, ICT are, also, a symbol of power and authority; this can encourage their adoption in large PD countries
(Bagchi and al., 2004). This adoption risks to be a sign of social status and limited to the elite of the society
(Gong and al., 2007). In large PD countries, organizations are characterized by centralized structures,
authority and application of formal rules (Erumban and de Jong, 2006). Thus, individuals called to respect
authority and differences and to follow instructions may be less ready to challenge status quo and less
motivated to adopt ICT (Gong and al., 2007).
Results from earlier studies show that when the PD is low, the adoption of PC and cellular phones increases
(Bagchi and al., 2004). It is also the case in Internet use and access (Gong and al., 2007) and in ICT
adoption independently of their types (Erumban and de Jong, 2006). Kovacic (2005) confirms the hypothesis
that the government of a large PD country has negative attitude toward the increase of the e-Government
readiness. So, we expect that e-Government adoption increases in small PD countries (H1).
4.2 Individualism/ Collectivism (ID)
Individualism describes the relationship between the group and the individual in a society. In individualistic
cultures (low collectivism) individuals are more concerned with themselves and their direct families’
members. The personal freedom and the individual decision-making are valued (Erumban and de Jong,
2006; Gong and al., 2007). In contrast, members from low individualistic cultures (high collectivism) show
more attachment to their group of adherence (extended family, community, association, etc.). They are
integrated into strong, cohesive groups in which individuals expect their relatives and others in their group to
look after them in exchange for unquestioning loyalty. Obligations and group harmony come before individual
objectives (Gong and al., 2007).
Authors (Bagchi and al., 2004; Kovacic, 2005; Erumban and de Jong, 2006; Gong and al., 2007) agree that
ICT adoption increases in individualistic cultures. On one hand, individuals in individualistic cultures have
more freedom to express their opinions and try new ideas than individuals in collectivistic cultures (Erumban
and de Jong, 2006; Gong and al., 2007). Therefore, they are more innovative and more open to the adoption
of ICT. On another side, ICT reduces time and space constraints. They assure more independence in work
or personal life in the sense that they have the option to maintain greater physical distance and allow
individuals to schedule their activities to meet the needs of several groups to which they belong (Bagchi and
al., 2004). Because of the same features, ICT promotes continuous contact between groups’ members in
collectivistic cultures (Bagchi and al., 2004). However, in such cultures, the importance of face-to-face
interactions reduces the role of ICT in maintaining relationships (Bagchi and al., 2004). Moreover, individuals
do not adopt ICT if they prove to be in contradiction with their groups norms (Erumban and de Jong, 2006).
Significant relationships between individualism and the adoption of PC, Internet, telephone, pagers (Bagchi
and al., 2004) and ICT in general (Erumban and de Jong, 2006) are showed by these authors. In the case of
e-Government, Kovacic (2005) finds that the government of an individualistic culture shows positive attitudes
toward the improvement of the e-Government readiness. In contrast, Gong and al. (2007) invalidate the
hypothesized positive effect of individualism on Internet adoption. But, they find a marginally significant
relationship and in the expected direction for narrow band penetration (t = 1, 56; p <0, 1). So, we expect that
e-Government adoption by PA increases in individualistic cultures (H2).
Fatma Bouaziz
www.ejeg.com 15 ISSN 1479-439X
4.3 Masculinity/ Femininity (MA)
This dimension of culture is based on a distinction between men and women’s roles in a society. Values
such as assertiveness, performance, success and competition characterize masculine cultures. On the
contrary, a feminine culture focuses on human relationships, quality of life, solidarity, equality, interest for
others and protection of the weak. These values are further searched by women who are more modest,
tender and more guided by the improvement of quality of life than men.
According to Hofstede, organizations in masculine cultures encourage the competition and recognize the
performance of individuals; these are the features of innovative organizations (Erumban and de Jong, 2006).
Organizations adopt ICT for more efficiency and competitiveness which are valued in masculine cultures
(Bagchi and al., 2004). In these cultures, the adoption of ICT increases because they permit to obtain useful
information to competition (Kovacic, 2005; Erumban and de Jong, 2006), influence the contribution of actors
to efficiency (Bagchi and al., 2004) and improve the performance and success chances (Kovacic, 2005). But,
it seems that earlier researches find results that contradict the authors’ expectations: masculinity has a
negative effect on the access to Internet and its use (Gong and al., 2007) and it has no relationship with the
adoption of ICT in general (Erumban and de Jong, 2006), and with the e-Government readiness index in
particular (Kovacic, 2005).
Moreover, ICT allow more cooperation at work and a better quality of life that are values of feminine cultures
(Bagchi and al., 2004). Gong and al. (2007) notice that ICT characteristics, such as Internet, are more
appropriate in the feminine cultures because they facilitate the information sharing and the communication
between people, groups and organizations. If this potential of communication is the major motive of ICT
adoption, then they are more accepted in high femininity countries (Erumban and de Jong, 2006). This idea
is supported by Bagchi and al. (2004) who find a strong relationship between feminine culture features and
the adoption of the telephone and the cellular phone. So we consider that the e-Government adoption
increases in high femininity countries (H3).
4.4 Uncertainty avoidance (UA)
Uncertainty avoidance refers to the attitude toward the risk, the uncertainty, and the new phenomena. The
new situations can include surprises and are different of the usual. High UA cultures try to structure life,
society, and minimize possibilities to have such situations by laws, formalism and measures of security.
Individuals are, generally, more resistant to change, risk averse and less innovative (Kovacic, 2005; Gong
and al., 2007). But, cultures that accept the uncertainty (low UA) are more tolerant toward others different
opinions. In these cultures, individuals show more tolerance toward the risks, like those associated to ICT,
and are more innovative (Bagchi and al., 2004; Gong and al., 2007). According to Bagchi and al. (2004), PC
routinize jobs, fax machines and e-mail leave paper records, telephone and cellular phone improve the
communication to solve problems more quickly. Consequently, ICT can respond to the needs of reducing
uncertainty in high UA cultures. However, ICT adoption is risky. Because these cultures are more risk averse
and resist to changes, their adoption of ICT is less important than in low UA countries (Bagchi and al., 2004;
Kovacic, 2005; Erumban and de Jong, 2006).
Mixed results are given by earlier studies. Supposing that the UA is negatively associated to Internet use and
access, Gong and al. (2007) don’t find a relationship between these two variables. Moreover, Bagchi and al.
(2004) conclude that the relationship between ICT adoption and UA is not obvious. Kovacic (2005) finds a
weak support to the hypothesis that the government of country with a high UA culture has a negative attitude
toward increasing the level of e-Government readiness. Contrary to these authors, Erumban and de Jong
(2006) confirm the hypothesis that high UA cultures show a lowest rate of ICT adoption than cultures with a
low UA. They notice that this cultural dimension is the most significant to the explanation of differences
between countries in the adoption of ICT. Therefore, we suggest that e-Government adoption increases in
low UA countries (H4).
4.5 Long term orientation / short term orientation (LOT)
This dimension refers to the degree to which a culture values its tradition and how much individuals focus on
their past and future (Erumban and de Jong, 2006; Gong and al., 2007). According to Hofstede, cultures with
LOT are characterized by values such as persistence, adaptation of tradition to new circumstances,
perseverance and the idea that most important events in life will occur in the future. In contrast, cultures with
a short term orientation (low LOT) expect quick results and focus on respect for past, tradition and stability.
Electronic Journal of e-Government Volume 6 Issue 1 2008 (11-22)
www.ejeg.com 16 ©Academic Conferences Ltd
LOT is the least tested dimension in cross-culture studies (Gong and al., 2007). These authors consider that
LOT cultures can better perceive the long term benefits of Internet and, therefore, they are more in favour of
the adoption of this innovation. They find that this cultural dimension has a significant positive influence on
Internet use and access. This impact increases when introducing the control variable “level of education” in
the regression model tested for the variable “broadband penetration”. In contrast, Erumban and de Jong
(2006) consider that low LOT cultures are more opened to new ideas than high LOT cultures, so that in such
cultures the adoption of ICT increases. Though, these authors don’t find conclusive results because of the
reduced size of the studied sample. So, we suggest that e-Government adoption increases in countries
characterized by LOT cultures (H5).
4.6 Control variables
Question on cultural dimensions that have an impact on the PA presence on the Web doesn’t imply a
deterministic view of the relationship between culture and ICT adoption. On one side, Bagchi and al. (2004,
p.31) argue that “when making prediction about the likely implications culture has for technology use, it is
important to avoid an overly deterministic view of either technology or culture”. Kovacic (2005) considers that
this relationship is not simply causal. Rather, it is dynamic as the e-Government can have an impact on the
national culture. On the other side, even though the UN (2005, p.91) explains disparities between countries
in the e-Government adoption by cultural differences, this organization highlights the role of differences in
political, economic and social systems, level of development, resource availability, technological
infrastructure and human capital. Kovacic (2005) affirms that e-Government adoption depends on the level of
democracy in the country, the cost of implementation and the perceived political benefits for the government
from implementing an e-Government initiative, and that those more democratic countries are higher ranked
on the e-Government readiness list than the less democratic ones.
Therefore, other variables may influence the ICT adoption: “while cultures can promote, resist, or shape
technology use, they do not wholly determine technology use” (Bagchi and al., 2004, p.31). Hofstede,
himself, argues that the five cultural dimensions are statistically correlated to several data of countries. For
example, power distance is correlated to income inequalities in a country, and individualism is correlated to
Per Capita Gross National Product. He explains that when the effect of other variables (economic variables,
for example) is significant, the cultural variables are redundant. But, if the cultural variables are still
significant despite of included economic variables, then the effect of culture on observed phenomenon could
be confirmed.
Erumban and de Jong (2006) and Gong and al. (2007), in their analysis of the relationship between the
national culture and the ICT adoption, study the impact of the level of education attainment. This variable will
be studied in the case of e-Government adoption by PA. Gong and al. (2007) find that the education level
contributes to explain the Internet access and use. They conjecture that the utilization of Internet requires
high levels of education and the researches on innovation diffusion must continue to take it in account. Thus,
we expect that e-Government adoption increases in countries where the level of education is high (H6).
5. Methodology
Qian (2007) affirms that since 2000, more than 25 global e-Government surveys are conducted. The most
recognised are surveys of “Accenture, Brown University, Economic Intelligence Unites (EIU), Taylor Nelson
Sofres (TN), United Nations, and World Economic Forum/Harvard University” (Qian, 2007). He adds that the
UN report on global e-Government readiness is one of the most read and used by practitioners and
researchers for the rigor of its methodology and the richness of data on all UN countries it contains. For this
reason, information given in the 2005 report is exploited in this study. More precisely, it is the Web Measure
Index (WMI) that serves as a measure of e-Government adoption by PA. In fact, “it is important to take a
closer look at the online public sector offerings in and off themselves. The web measure index assesses the
websites of the governments to determine if they are employing e-Government to the fullest. The web
measure rankings are different to the e-Government readiness rankings, which are based on a composite
index comprising web measure, infrastructure and human capital assessment” (UN, 2005, p.71).
The scores provided by Hofstede serve for the measure of cultural dimensions. These scores are available
in 65 countries and 3 regions (Arab world, East and West Africa) (www.geerthofstede.
com/hofstede_dimensions.php). Countries belonging to these three regions are excluded from the
present study since it can be inconceivable to consider that these countries possess the same scores on the
cultural dimensions than the region. For Arab world, for example, El Louadi (2004) argues that the imputation
of regional scores and dimensions to all Arab countries (have one same score (high) in power distance, are
Fatma Bouaziz
www.ejeg.com 17 ISSN 1479-439X
relatively collectivist, etc.) is worrying. According to the same author, the complexity of the Arab culture
necessitates the study of the Arab values and their inclusion in Hofstede’s framework. Among others
countries studied by Hofstede, Taiwan and Hong Kong are excluded because the UN report doesn’t provide
data on their WMI. Therefore, a final sample of 63 countries is examined.
Methods of correlation and regression analysis are applied to the data. Several researchers (Bagchi and al.,
2004; Kovacic, 2005; Erumban and de Jong, 2006; Gong and al., 2007) use regression analysis to examine
the relationship between national culture and ICT adoption. Regression analysis allows the prediction of
values taken by an endogenous variable from a set of explanatory variables x1, x2,…, xp. Its application in
this research seems to be adequate. In fact, no major problem of multicollinearity is detected despite of the
existence of significant correlations between the following independent variables: PD / ID; ID / LOT; ID / EDU
and PD / EDU (table 2). As mentioned by Hofstede, these cultural dimensions have relationships between
them and with socioeconomic variables such as the level of education. But, all the values of the variance
inflation factors (VIF), which permit to verify if correlations between independent variables cause a
multicollinearity problem, are comprised between 1,202 and 4,121. These values are much less than 10, a
frequently suggested cut-off value of multicollinearity (Bagchi and al., 2004).
Table 2: Correlation coefficients between independent variables
IDG1 PDG1 UAG1 MAG1 LOTG1
PDG1 -0,613**
UAG1 -0,232 0,221
MAG1 0,095 0,136 -0,040
LOTG1 -0,430* 0,341 -0,043 0,113
EDUG1 0,514** -0,409** 0,013 -0,049 0,014
** Significant at 0.01 level; * Significant at 0.05 level.
6. Results and discussion
In addition to the WMI, UN report (2005) provides data on e-Government service delivery by stages of
evolution. These stages may be related to the depth of e-Government adoption by PA. Data show that the
PA differ on their presence on the Web, but also they have different scores at the level of these stages. This
reflects different levels of e-Government adoption by PA. To verify if the cultural and socioeconomic
variables impact can vary according to the level of engagement in these stages of e-Government evolution,
coefficients of correlation are firstly calculated (table 3). Results show that:
􀂃 At the first stage of e-Government evolution, all correlation coefficients are low and insignificant.
They are positive for the variables ID, MA and EDU, and negative for the variables PD, UA and
LOT.
􀂃 At the second and the third stages, the variables ID and EDU show significant and positive
coefficients of correlation. These coefficients are significant and negative for the variable PD. For
UA, LOT and MA, coefficients are low and insignificant. They are negative in the case of UA and
LOT and positive for MA.
􀂃 At the fourth stage, the variables ID, EDU and PD show similar results as those of the second
and the third stages. In addition, the UA has a significant and negative coefficient. The
coefficients relative to LOT and MA are insignificant. Similar results are obtained at the fifth
stage and the WMI.
􀂃 Among the independent variables, EDU has the highest coefficients of correlation (in terms of
absolute values) which underlines its importance. This coefficient has a higher value at the
second stage than the others.
Table 3: Correlation coefficients : e-Government adoption/ independent variables
ID PD UA MA LOT EDU
Stage 1 0,164 -0,131 -0,014 0,156 -0,293 0,163
Stage 2 0,525** -0,405** -0,133 0,092 -0,139 0,591**
Stage 3 0,454** -0,404** -0,229 0,059 -0,093 0,521**
Stage 4 0,434** -0,424** -0,359** -0,12 -0,116 0,441**
Stage 5 0,406** -0,296* -0,298* 0,004 -0,093 0,488**
WMI 0,502** -0,422** -0,259** 0,03 -0,126 0,555**
** Significant at 0.01 level; * Significant at 0.05 level.
Electronic Journal of e-Government Volume 6 Issue 1 2008 (11-22)
www.ejeg.com 18 ©Academic Conferences Ltd
Thus, the impact of the cultural variables and of the level of education appears progressively with the e-
Government evolution. Relationships between these variables that depend on the level of e-Government
adoption may exist. To better examine these relationships and identify the most significant variables, a
regression analysis (table 4) is done for each of e-Government evolution stages and for the WMI. The
coefficient of determination R2 measures the proportion of the variation in the dependent variable as
explained by independent variables in a regression model, and standardized Beta coefficients are used to
make statements about their relative importance. A higher Beta value, for a given independent variable,
means that this variable is more relevant than the others.
Table 4: Regression results
Model 2
(Y = a + b1PD + b2ID +
b3MA + b4UA + є)
Model 3
(Y = a + b1PD + b2ID + b3MA +
b4UA + b5EDU + є)
Model 4
(Y = a + b1PD + b2ID + b3MA +
b4UA + b5LOT + b6EDU + є)
R2 Bêta t (p) R2 Bêta t (p) R2 Bêta t (p)
Phase
1
0,054 - 0,063 - 0,171 -
Phase
2
0,243 ID (0,423) 5,930 (0,005) 0,433 EDU (0,451) 3,771 (0,000) 0,639 EDU
(0,787)
3,972
(0,001)
Phase
3
0,247 ID (0,298) 1,998 (0,05) 0,367 EDU (0,416) 3,288 (0,002) 0,532 EDU
(0,635)
2,815
(0,012)
Phase
4
0,305 ID (0,277)
UA (-0,261)
1,937 (0,058)
-2,302
(0,025)
0,377 EDU (0,320)
UA (-0,309)
2,554 (0,013)
-2,812 (0,007)
0,438 EDU
(0,501)
2,024
(0,059)
Phase
5
0,211 ID (0,366)
UA (-0,212)
2,204 (0,032)
-1,761
(0,084)
0,308 EDU (0,374)
UA (-0,269)
2,832 (0,006)
-2,323 (0,024)
0,607 EDU
(0,685)
PD (-
0,607)
3,311
(0,004)
-2,238
(0,039)
WMI 0,290 ID (0,364) 2,519 (0,015) 0,421 EDU (0,433)
UA (-0,201)
3,577 (0,001)
-1,901 (0,062)
0,606 EDU
(0,699)
3,376
(0,004)
In a first step of analysis, a first regression model (results of this model are not presented in the table 4),
where the five cultural dimensions are included, is tested. Results of this model show that these variables
have insignificant relationships with the e-Government adoption by PA at all evolution stages. It is also the
case for the WMI. Thus, the hypotheses 1 to 5 are rejected.
Since scores of the variable LOT are only available in 24 countries, this low number may influence the
results. For this reason, a second regression model is tested for four cultural variables: PD, ID, UA and MA
(Model 2). Results of model 2 (table 4) show that the cultural variables have insignificant coefficient at the
first stage of e-Government evolution and that the coefficient R2 is low (R2 = 0,054). In this phase, basic and
limited information is presented on static Web sites conceived for consultation without possibility of
communication or interaction with the PA. Characteristics of these sites don’t contradict with the cultural
dimensions of a nation. The PA can adopt this stage without cultural constraints or stimulants.
The contribution of cultural variables to the explained variance of the adoption of e-Government increases
from the second stage (R2 is between 0,211 and 0,305). Among the cultural variables, ID shows positive and
significant coefficients at stages 2, 3, 4 and 5 and at the WMI. Looking for a better public services delivery
and an improvement of its efficiency, PA in individualistic cultures adopts the ICT more then in collectivistic
cultures. Therefore, H2 is supported. The coefficient relative to UA is negative and significant at stages 4 and
5, negative insignificant at stage 3 and at the WMI and positive insignificant at stages 1 and 2. Consequently,
H4 (the e-Government adoption by the PA increases in low UA cultures) is partially supported. PD has
negative and insignificant coefficients at all stages of e-Government evolution and at the WMI. So this
variable doesn’t have a relationship with e-Government adoption by the PA (but the sign of the relationship is
as expected), contrary to what was expected in the hypothesis H1. MA shows insignificant coefficients at all
stages of e-Government evolution. Therefore, this variable doesn’t have any impact on the adoption of e-
Government by PA contrary to what was hypothesised (H3).
In a second step of analysis, the socioeconomic variable EDU is introduced in the regression model (Model
3, table 4). Results show that the value of the determination coefficients R2 increases. As found in model 2,
at the first stage of e-Government evolution, the cultural and the socioeconomic variables don’t have any
impact on the adoption. This stage concerns a passive presence of the PA on the Web where sites are
static. This hasn’t contradictions with the cultural variables and doesn’t require a high level of education. The
education level is an important variable at the second, third, fourth and fifth e-Government stages and at the
WMI. Since Beta coefficients are positive and significant, hypothesis H6 is supported. After the introduction
of the socioeconomic variable (EDU), ID doesn’t have any more influence (Beta are positive and
Fatma Bouaziz
www.ejeg.com 19 ISSN 1479-439X
insignificant). Therefore, hypothesis H2 is not supported. This can be due to the high correlation between
EDU and ID (table 2). In contrast, the coefficients Beta of UA are negative and their significance increases at
stages 4 and 5.
The coefficient Beta relative to UA has the highest value at the stage 5. In addition, this cultural variable has
a significant negative relationship with WMI. In the first stages (2, 3) of e-Government evolution, the
communication and interaction are essentially unidirectional with information flowing essentially from the
government to the citizen (UN, 2005). This may not require developed measures of security; thus the
importance of the variable UA can be low. But, from the stage 4, online transactions, exchange of personal
information and online payments become possible. This requires the development of more secure links (UN,
2005). If citizens consider that the use of e-services offered by PA is insufficiently secure, they may refuse
them. In addition to security requirements, the stage 5 necessitates cooperation between different public
agencies for their integration. Cooperation is often mentioned among the barriers of e-Government
development (UN, 2002; OECD, 2003), so that risk of failure increases. However, decision-makers in PA are
risk averse and prefer “to rely on the tried and true” (Bartoli, 2005, p.320). So, as expected in the hypothesis
H4, UA acts negatively on e-Government adoption by PA.
The influence of the variable PD on the e-Government adoption at all evolution stages and at the WMI is
insignificant although it is in the expected negative direction. Consequently, hypothesis H1 is not supported.
PD seems to don’t have an impact on the adoption of the e-Government by PA.
For the variable MA, the impact at all evolution stages and at the WMI is insignificant. The coefficients Beta
are negative at stages 4 and 5 and positive at stages 1, 2, 3 and at the WMI. Therefore, hypothesis H3 is not
supported, suggesting that masculine cultures as feminine cultures adopt in the same way the e-
Government.
Since Gong and al. (2007) find that the impact of LOT dimension on broadband penetration increases when
introducing the control variable “level of education” in the regression model, the variable LOT is reintroduced
among the independent variables (model 4, table 4). It appears that the five cultural variables and the
socioeconomic variable give better explanation to the variance of the e-Government adoption (the values of
the coefficient R2 increase). The Beta coefficient of the variable EDU still positive and significant becomes
higher. Therefore the hypothesis H6 is supported. But with the reintroduction of LOT, the negative Beta of
UA becomes insignificant. Consequently, the hypothesis H4 is not supported. This can be justified by the fact
that if LOT increases, the long term benefits of the e-Government can be better perceived. As a result, the
influence of UA may be counterbalanced. Although the correlation coefficient of LOT and UA is low and
insignificant (table 2) its negative sign means that these two variables act inversely.
Besides, the model 4 shows that the variable PD has a negative and significant impact on the evolution to
the stage 5 of e-Government adoption and that this impact is limited to this stage. Then, the hypothesis H1 is
partially supported. This stage implies the networking of various agencies of PA, cooperation between these
agencies, information sharing and major organizational changes (Ebrahim and Irani, 2005). Moreover, it
encourages citizens’ participation in political processes and decision making and involves the society in a
two way open dialogue (ONU, 2005). This can be in contradiction with cultural values of a country where the
PD is high: centralized structures, respect of authority, application of formal rules and instructions,
preference for status quo. The Beta coefficients of the variables LOT, ID and MA are insignificant. They are
negative for LOT and ID and positive for MA. Contrary to expectations, the hypothesis H5, H2 and H3 are
not supported and the signs directions are opposite to the proposed relationships. Table 5 gives a summary
of results:
Table 5: Summary of results
Model 1 Model 2 Model 3 Model 4
H 1 (PD) Not supported Not supported Not supported Partially supported
H 2 (ID) Not supported Supported Not supported Not supported
H 3 (MA) Not supported Not supported Not supported Not supported
H 4 (UA) Not supported Partially supported Supported Not supported
H 5 (LOT) Not supported - - Not supported
H 6 (EDU) - - Supported Supported
So, we can conclude that:
􀂃 The hypothesis H1 is rejected in the three first models. This contradicts the results of Kovacic
(2005) who finds that PD act negatively on WMI, and the results of Bagchi and al. (2004) and
Electronic Journal of e-Government Volume 6 Issue 1 2008 (11-22)
www.ejeg.com 20 ©Academic Conferences Ltd
Gong and al. (2007) according to whom the adoption of PC, telephones, phones cellular (Bagchi
and al., 2004), and Internet (Gong and., 2007) increases in low PD countries. But, the model 4
gives a minor support for the hypothesis H1, suggesting that PD may be negatively associated
with the e-Government adoption by PA.
􀂃 The hypothesis H2 is rejected in models 1, 3 and 4 and supported in model 2. In the last case,
results corroborate with those found by Kovacic (2005), Bagchi and al. (2004) and Erumban and
de Jong (2006). According to the second model, e-Government adoption increases in
individualistic cultures and ID is the most significant cultural variable. But this relationship doesn’t
remain significant with the introduction of the socioeconomic variable EDU (Model 3) and the
cultural variable LOT (Model 4).
􀂃 The hypothesis H3 is rejected in all models. So, cultural values, as masculinity/ femininity, don’t
have any impact on the e-Government adoption by PA. Similar results show that masculinity has
no relationship with the adoption of ICT in general (Erumban and de Jong, 2006), and with the e-
Government readiness index in particular (Kovacic, 2005). But, this result is contrary to those of
Gong and al. (2007) who find that masculinity has a negative effect on the access to Internet and
its use and Bagchi and al. (2004) who reveal a strong relationship between feminine culture
features and the adoption of the telephone and the cellular phone. This result may be explained
by the fact that e-Government seems to respond to both feminine and masculine values: it aims
at providing an efficient government management, empowerment of citizens through access to
information and participation in the public policy decision making (UN, 2005), enhancing the
public services quality, establishing trust between PA and the citizens and achieving economic
objectives (OECD, 2003; UN, 2004).
􀂃 The hypothesis H4 is rejected in models 1 and 4, partially supported in model 2 and supported in
model 3. So, the suggestion that adoption of e-Government increases in countries where UA is
low gives mixed results. In the same vein, Bagchi and al. (2004) find that the relationship
between UA and ICT adoption is not obvious. In addition, the test of the relationship UA – the
level of e-Government readiness is only weakly supported in the work of Kovacic (2005).
􀂃 The hypothesis H5, i.e. e-Government adoption by PA increases in the countries characterized
by LOT cultures, is not supported. This result contradicts the findings of Gong and al. (2007) who
note that this cultural dimension has a significant positive influence on Internet use and access
and that this impact increases when including the control variable “level of education” in the
regression model tested for the variable “broadband penetration”. It seems that both researchers
and practitioners have highlighted the advantages of e-Government and e-Government
programs remain at the top of most countries policy agendas (UN, 2002) independently of the
cultural variable long term orientation/ short term orientation.
􀂃 The hypothesis H6 is supported. The Beta coefficients of the variable EDU (table 4) are higher
than those of the cultural variables suggesting that EDU is more important in the e-Government
adoption. The highest coefficient is attained at the stage 2 (table 4). Although, the
communication and information flows are still unidirectional (PA 􀃆 Society), this stage is more
sophisticated than the first (UN, 2005). In the beginning, citizens and employees in the PA can
face technical problems; the resolution of these problems may require high levels of knowledge.
Then, the accumulation of experiences generates know-how and new skills that can be used to
engage in the more advanced stages of e-Government evolution.
7. Conclusion
This study is designed to examine whether cultural characteristics explain differences in worldwide e-
Government adoption by PA. It is found that results vary according to the regression model tested, and
national cultural dimensions influence the e-Government adoption. Among the cultural variables ID and UA
are the most significant and PD is of minor importance. However, results show that the cultural and
socioeconomic variables, taken together, explain better the e-Government adoption by PA. The level of
education attainment is more important since the e-Government requires the recombination of efforts and the
expertise of several stakeholders (PA, private partners in the case of outsourcing, etc.) for the development
of e-services that respond to the needs of a society. Reciprocally, to be able to use e-services, society must
detain the requisite skills.
This study has implications both for practice and theory. e-Government adoption by PA is measured by WMI
and by stages of e-Government evolution. So results identify the most significant cultural dimensions by
Fatma Bouaziz
www.ejeg.com 21 ISSN 1479-439X
stages. To take in to account the significant cultural variables when elaborating policies for e-Government
adoption by PA may be important. At a theoretical level, this study suggests to add cultural variables to other
theories and models, such as the diffusion of innovations (DOI) theory, the theory of planned behaviour
(TPB) and the technology acceptance model (TAM), to study e-Government adoption. Horst (2007), for
example, finds that perceived risk by citizens is inversely related to perceived usefulness of e-Government
services, and that this later is an important determinant of citizens’ intention to adopt e-Government services.
This research is not exempt of reservations. The first limit relates to the measurement of the national culture.
Dimensions are derived from Hofstede cultural approach. In addition to its criticisms (Baskerville, 2003;
2005), Hofstede provides regional scores for Arab world, East and West Africa. Since these scores are
regional and that countries can have different scores from those of the region, the countries belonging to
these regions are excluded from this study despite the availability of data on e-Government adoption in the
UN report (2005). Data in this report show that fewer countries evolve to stages 4 and 5 and that the full
potential at these stages is unexploited. Different approaches of the e-Government according to countries
must to be considered (OECD, 2003). Thus, to be unaware of variables such as political systems, strategic
priorities of the governments, and technical and organizational challenges (Layne and Lee, 2001; Ebrahim
and Irani, 2005) in the e-Government adoption and particularly the evolution to stages 4 and 5, is another
limit.
References
Bagchi, K., Hart, P. et Peterson, M.F., 2004, « National Culture and Information Technology Product Adoption”, Journal
of Global Information Technology Management, 7, 4, pp.29-46.
Bartoli, A., 2005, Le management dans les organisations publiques, Edition Dunod, Paris.
Baskerville, R.F., 2003, “Hofstede never studied culture”, Accounting, Organizations and Society, 28, pp.1–14.
Baskerville, R.F., 2005, “A research note: the unfinished business of culture”, Accounting, Organizations and Society, 30,
pp.389–391.
Ebrahim, Z. et Irani, Z., 2005, “e-Government adoption: architecture and barriers”, Business Process Management
Journal, Vol.11, N°5, pp.589-611.
El Jamali, T., Plaisent, M., Benyahia, H., Bernard, P. et Maguiraga, L., 2004, « La France à l’heure du e-gouvernement »,
9ème Colloque de l’AIM, « Systèmes d’information : Perspectives critiques », 26, 27 et 28, mai 2004, INT Evry
France.
El Louadi, M., 2004, « Cultures et communication électronique dans le monde arabe », Systèmes d’information et
Management, Vol.9, N°3, pp.117-143.
Erumban, A.A. et de Jong, S.B., 2006, “Cross-country differences in ICT adoption: A consequence of culture?”, Journal
of World Business, 41, pp.302–314.
Gong, W, Li, Z.G. et Stump, R.L., 2007, « Global internet use and access: cultural considerations”, Asia Pacific Journal
of Marketing and Logistics, Vol. 19, N°1, pp. 57-74.
Hall, E.T., 1976, Beyond Culture, Anchor Books, New York, NY.
Hofstede, G., www.geert-hofstede.com/hofstede_dimensions.php, access : 14-09-07.
Horst, M., Kuttschreuter, M.T., Gutteling, J.M, 2007, “Perceived usefulness, personal experiences, risk perception and
trust as determinants of adoption of e-Government services in The Netherlands”, Computers in Human Behavior, 23,
pp.1838–1852.
Kovacic, Z.J., 2005, “The Impact of National Culture on Worldwide e-Government Readiness”, Informing Science
Journal, Vol.8, pp.143-158.
Layne, K. et Lee, J., 2001, “Developing fully functional e-Government: a four stage model”, Government Information
Quarterly, Vol.18, N°2, pp.122-136.
Moon, M.J., 2002, “The evolution of e-Government among municipalities: Rhetoric or reality?”, Public Administration
Review, 62, 4, pp.424-443.
OCDE, 2003, “The e-Government imperative”,www1.worlbank.org/publicsector/egov/e-GovernmentImperative.pdf, 199p,
access: 5-03-04.
ONU, 2002, “Benchmarking e-Government: A Global perspective, assessing the progress of the UN member states”,
81pp. www.golconferenceca/presentations/e-Government_UN.pdf, access: 5-02-04.
ONU, 2003, “World Public Sector Report 2003: e-Government at the Crossroads”,
unpan1.un.org/intradoc/groups/public/documents/UN/UNPAN012733.pdf, access: 05-09-05, 129p.
ONU, 2004, “Global e-Government readiness report 2004: Towards access for Opportunity”, New York, 182p.
http://unpan1.un.org/intradoc/groups/public/documents/un/unpan019207.pdf, access: 29-08-05.
ONU, 2005, “From e-Government to E-inclusion”, UN Global e-Government Readiness Report,
unpan1.un.org/intradoc/groups/public/documents/un/unpan021888.pdf, pp.1-270, access: 21-09-07.
Qian, H., 2007, “UNDESA Initiative on Global e-Government Assessment”, pp.1-10, access: 21-09-07,
unpan1.un.org/intradoc/groups/public/documents/APCITY/UNPAN024987.pdf.
Rosenberg, N., 1972, “Factors affecting diffusion of technology”, Explorations in Economic History, 10, 1, pp.3-33.
World Bank list of economies (July 2007), siteresources.worldbank.org/DATASTATISTICS/Resources/CLASS.XLS,
access: 20-09-07.
Electronic Journal of e-Government Volume 6 Issue 1 2008 (11-22)
www.ejeg.com 22 ©Academic Conferences Ltd
Zghal, R., 2001, « Technologies de l’information et de la communication, administration publique et culture en Tunisie »,
5ème conférence internationale de management des réseaux d’entreprises, Octobre 2001, Tunisie - Mahdia, pp.1-8.
Appendix 1
WMI and characteristics of the 50 first countries (UN, 2005)
Countries WMI Rang Income/ capita* Development state
1 USA 1.0000 1 High
2 United Kingdom 0.9962 2 High
3 Singapore 0.9962 2 High Developing
4 Republic Korea 0.9769 3 High
5 Denmark 0.9731 4 High
6 Chile 0.9115 5 Superior to the average Developing
7 Australia 0.9038 6 High
8 Canada 0.8923 7 High
9 Sweden 0.8654 8 High
10 Germany 0.8423 9 High
11 Finland 0.8269 10 High
12 Mexico 0.8192 11 Superior to the average Developing
13 Japan 0.8154 12 High
14 New Zealand 0.8038 13 High
15 Norway 0.7962 14 High
16 Malta 0.7923 15 High
17 Brazil 0.7500 16 Superior to the average Developing
18 Austria 0.7423 17 High
19 Philippines 0.7423 17 Lower to the average Developing
20 Holland 0.7346 18 High
21 Israel 0.7308 19 High
22 Belgium 0.7115 20 High
23 Ireland 0.7115 20 High
24 Hungry 0.7038 21 Superior to the average Developing
25 Estonia 0.6962 22 High
26 Thailand 0.6654 23 Lower to the average Developing
27 Argentina 0.6577 24 Superior to the average Developing
28 Romania 0.6423 25 Superior to the average Developing
29 Mauritius 0.6288 26 Superior to the average Developing
30 Italy 0.6269 27 High
31 Colombia 0.615 28 Lower to the average Developing
32 France 0.6115 29 High
33 United Arab Emirates 0.6115 29 High
34 Iceland 0.6077 30 High
35 Suisse 0.6038 31 High
36 Slovenia 0.5923 32 High
37 Czech Republic 0.5885 33 High
38 India 0.5827 33 Low Developing
39 Ukraine 0.5808 34 Lower to the average Developing
40 Malaysia 0.5769 34 Superior to the average Developing
41 Venezuela 0.5769 34 Superior to the average Developing
42 Chine 0.5692 35 Lower to the average Developing
43 South Africa 0.5692 35 Superior to the average
44 Peru 0.5577 36 Lower to the average Developing
45 Slovakia 0.5385 37 Superior to the average
46 Lithuania 0.5231 38 Superior to the average
47 Turkey 0.5231 38 Superior to the average Developing
48 Bulgaria 0.5192 39 Superior to the average Developing
49 Greece 0.5115 40 High
50 Poland 0.5115 40 Superior to the average
*World Bank list of economies (July 2007), siteresources.worldbank.org/DATASTATISTICS/Resources/CLASS.XLS, access: 20-
09-07.